Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Wednesday, 6 May 2020

Selamat Hari Waisak


Kami senap MGMP PPKn Pesisir Barat mengucapkan selamat Hari Raya Waisak bagi umat Budha .

MGMP PPKn Perduli Covid 19

Masa pandemi virus covid 19 telah dinyatakan sebagai bencana nasional bangsa Indonesia. Virus yang menjangkit 80 persen negara di seluruh dunia ini bukan hanya mematikan ratusan ribu nyawa manusia namun juga mematikan sendi sendi ekonomi sosial dan budaya. 


MGMP PPKn sebagai wadah guru PPKn khususnya Pesisir barat melakukan pengumpulan donasi untuk membantu bangsa Indonesia dalam menghadapi virus corona covid 19. Hal ini juga senada dengan bapak Proklamator Indonesia yaitu Bp. Ir. Soekarno yang menyatakan bahwa "Inti sari dari Pancasila adalah Gotong Royong". Gotong royong diwujudkan dalam sikap saling membantu empati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Alhamdulillah dana dalam pengumpulan donasi covid 19 terkumpul Rp. 300.000,-. Selanjutnya dana tersebut disalurkan melalui UPTD Puskesmas Way Krui yang membuka donasi kemanusiaan untuk covid 19 terutama dalam memenuhi kebutuhan alat pelindung diri. Semoga gotong royong dan donasi ini akan membawa manfaat serta mendapat berkah dari Allah SWT. Aamiin.




Kontributor : Dimas Setyo Kukuh Permono
 

Saturday, 2 May 2020

Peluncuran Logo MGMP PPKn Pesisir Barat

Logo adalah simbol yang menandakan seseorang atau organisasi. Melalui logo visi misi dan tujuan suatu organisasi dapat dilihat. MGMP PPKn Krui secara resmi pada 2 Mei 2020 yang bertepatan dengan hari pendidikan nasional melakukan peluncuran logo baru. Melalui launcing ini akan membawa semangat perjuangan khususnya Mata pelajaran PPKn dalam menghadapi gempuran moral dan zaman yang semakin cepat dan terus berganti.






Filosofi Logo

1. MGMP PPKn : Melambangkan nama organisasi yang diusung yaitu MGMP PPKN, warna biru melambangkan kekuatan yang tiada tara dalam menghadapi zaman yang terus berganti
2. Garuda Pancasila : Melambangkan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang juga didalamnya ada istilah Bhineka tunggal Ika.
3. Siger dan buku : Melambangkan tempat yaitu lampung yang erat dengan siger serta kearifan lokal yang melekat didalamnya, sedangkan buku melambangkan bangsa yang selalau belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
4. Merah Putih : Melambangkan Keberanian dan kesetiaan.
5. gunung dan sayap : Melambangkan organisasi akan berkibar dimanapun sesuai dengan geografis pesisir barat yang berbukit bukit dan lautan.
5. Jukung : Melambangkan Daerah pesisir barat yang pantai serta dikelilingi ombak yang biru serta pasir yang putih.

MGMP PPKn Pesisir Barat Mengucapkan Marhaban Ya ramadhan

Menyambut bulan Ramadan 1441 H, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP ) PPKn Pesisir Barat mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, semoga amal dan ibadah kita selalu mendapatkan ridho dari Allah SWT. Aamiin

Doc. Dimas Setyo Kukuh Permono

Penyerahan Hadiah Lomba "Bela Negara Melawan Covid 19"

          Menyambut datangnya hari pendidikan nasional yang jatuh pada tanggal 2 mei 2020, MGMP PPKn pesisir barat telah menyelesaikan beberapa rangkaian kegiatan. Diantara kegiatan tersebut adalah lomba poster 'Bela Negara Melawan Covid 19" yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan IGI  Pesisir Barat.
 Foto: Diambil Ketika Penyerahan Hadiah
        Respon akan perlombaan tersebut sangat baik, kurang lebih ada 160 an peserta yang berpartisipasi dalam perlombaan ini, namun karena ketatnya kualifikasi dalam perlombaan ini maka hanya 140 karya yang terseleksi.
Foto: Ketua IGI Pesisir Barat bersama Juara 1 lomba

           Dari 140 karya terseleksi tersebut maka penilaian pun dilakukan secara profesional. Dengan dukungan 3 juri yang profesional dan aktif dalam bidang seni maka diputuskan 3 pemenang lomba. yaitu Eigi Artamevia,  Intan Salwa Putri dan Dieta Auranique.
Foto: Doc. Ibu Agis ( Guru PPKn SMP 9 Krui)

            Penyerahan hadiah dilakukan secara simbolis melalui guru ataupun lingkungan civitas akademika pada sekolah dimana pemenang berada. Hal itu dikarenakan karena pandemi virus yang belum selesai dan sesuai dengan SOP pembelajaran dan kegiatan jarak jauh.
                Semoga piagam penghargaan dan uang peminaan tersebut dapat menjadi motifasi serta peserta didik dalam menyongsog masa depan di tengah pandemi covid 19. Selamat hari pendidikan untuk insan pendidikan di seluruh nusantara, tetap berkarya dan membara. "Belajar dari Covid 19" guruku selalu ku rindu, kelasmu selalu ku tunggu.



Doc. Dimas Setyo Kukuh Permono




Saturday, 25 April 2020

Pemenang lomba Poster " Bela Negara Melawan Covid 19"

Pemenang Lomba Poster " Bela Negara Melawan Covid 19" yang diadakan oleh IGI bekerjasama dengan MGMP PPKn Pesisir Barat


Juara 1 

Nama                               :Eigi Artamevia
Asal Sekolah                   : SMP Negeri 12 Krui




Berhak mendapatkan hadiah : Piagam Penghargaan + Uang Pembinaan Rp. 225.000,-




Juara 2

Nama                               : Intan Salwa Putri
Asal Sekolah                   : SMP Negeri 9 Krui




Berhak mendapatkan hadiah : Piagam Penghargaan + Uang Pembinaan Rp. 175.000,-


Juara 3

Nama                               : Dieta Auranique
Asal Sekolah                   : SMP Negeri 2 Krui


Berhak mendapatkan hadiah : Piagam Penghargaan + Uang Pembinaan Rp. 150.000,-




Nb: Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat

Krui,26 April 2020 

         ttd


Ketua Panitia

Tuesday, 21 April 2020

Dewan Juri Lomba Poster "Bela Negara Melawan Covid 19"

Juri 1
Nama                         : Aris Sudiyanto, S.Pd., Gr.
TTL                           : Pacitan 18 juli 1988
Riwayat sekolah        : S1 seni Rupa UNY dan Profesi UNJ
Riwayat organisasi 
  • Juri FLS2N kab. pesbar.
  • Ketua IGI
  • Kepala sekretarist Panwascam Lemong
  • Ketua ppg seni unj
  • Sekretaris kwaran lemong







Juri 2
Nama                 : Azmi Fikron, S.Pd
TTL                   : 26 Juni 1995
Risayat sekolah:
SD Negeri 1 Kebuayan
SMP Negeri 1 Karya Penggawa
SMA Negeri 1 Pesisir Tengah
S1 Universitas Lampung

Organisasi :
  • Kepala Bidang Minat dan Bakat FORDIKA UNILA Tahun 2014/2015
  • Ketua Umum FORDIKA UNILA (Forum Pendidikn Kewarganegaraan) 2015/2016 







Juri 3
Nama: Maulana Hasan Saifudin, S.Pd
TTL: Salatiga, 20 Januari 1988
Riwayat pendidikan: S1 PGSD
Riwayat organisasi/prestasi:
  • Penggiat Seni Budaya Indonesia





Friday, 3 April 2020

Lomba Poster IGI dan MGMP PPKn "Bela Negara Melawan Covid 19" 2020

Sesuai dengan surat edaran kemendikbud no 3 tahun 2020 dan surat edaran bupati pesisir barat no: 420/0877/IV.01/2020 tentang pelaksannan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran corona virus deserse ( Covid 19 ) yang salah satu point nya menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar dipandu oleh guru diperpanjang sampai dengan 22 April 2020. Maka kami dari MGMP PPKn Pesisir Barat berinisiatif mengadakan perlombaan sisiwa dalam batas pelajaran PPKn. Dengan memperhatikan protokoler penanganan Corona Virus Covid 19 yaitu dilakukan dalam masa pembelajaran dan dilakukan dengan daring ( online). Perlombaan ini mendapatkan dukungan penuh dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) Pesisir Barat sebagai penanggung jawab dan pelaksana kegiatan ini.



tujuan diadakan lomba ini 
1. untuk mendukung edaran presiden RI tentang bekerja dirumah, belajar dirumah dan beribadah dirumah.
2. memudahkan guru mata pelajaran khususnya PPKn dalam memberikan tugas secara daring kepada siswa
3. mendukung kebijakan pemerintah tentang sosialisasi bahaya Corona Virus Covid 19
4. Memberi edukasi secara inquiri kepada siswa tentang bahaya Corona Virus Covid 19
5. Memberi kesadaran bersama tentang kerjasama dalam bela negara.
6. Mengajak para usia produktif khususnya siswa dan siswi SMP untuk berperan aktiv dalam menanggapi bahaya Corona Covid 19.
7. Mengajak dan mengedukasi pemuda untuk ikut dalam bela negara.



Tuesday, 31 March 2020

SE Mendikbud 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Corona Virus Disease (Covid-19) pada Satuan Pendidikan

SE Mendikbud 3 tahun 2020 tentang Pencegahan Corona Virus Disease (Covid-19) pada Satuan Pendidikan adalah seperti berikut:
                                          Sumber :suarapapua.com

Dalam rangka pencegahan perkembangan dan penyebaran Corona Virus Disease (Covid-l9) di lingkungan satuan pendidikan, dengan hormat kami mengimbau Saudara agar segera menginstruksikan kepada satuan pendidikan di wilayah kerja Saudara untuk: 
 1. mengoptimalkan peran Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) atau unit layanan kesehatan di perguruan tinggi dengan cara berkoordinasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan setempat dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19;
2. berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan/atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi setempat untuk mengetahui apakah Dinas Kesehatan telah memiliki semacam rencana atau persiapan dalam menghadapi Covid-19; 
3. memastikan ketersediaan sarana untuk cuci tangan pakai sabun (CTPS) dan alat pembersih sekali pakai (tissue) di berbagai lokasi strategis di satuan pendidikan; 
4.memastikan bahwa warga satuan pendidikan menggunakan sarana CTPS (minimal 20 detik) dan pengering tangan sekali pakai sebagaimana mestinya, dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) lainnya; 
5. memastikan satuan pendidikan melakukan pembersihan ruangan dan lingkungan satuan pendidikan secara rutin, khususnya handel pintu, saklar lampu, komputer, papan tik (keyboard) dan fasilitas lain yang sering terpegang oleh tangan. Gunakan petugas yang trampil menjalankan tugas pembersihan dan gunakan bahan pembersih yang sesuai untuk keperluan tersebut; 
6.memonitor absensi (ketidakhadiran) warga satuan pendidikan; 
7.memberikan izin kepada warga satuan pendidikan yang sakit untuk tidak datang ke satuan pendidikan; 
8.tidak memberlakukan hukuman/sanksi bagi yang tidak masuk karena sakit, serta tidak memberlakukan kebijakan insentif berbasis kehadiran (jika ada); 
9.melaporkan kepada Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan/atau Lernbaga Layanan Pendidikan Tinggi jika terdapat ketidakhadiran dalam jumlah besar karena sakit yang berkaitan dengan pernafasan; 
1o.mengalihkan tugas pendidik dan tenaga kependidikan yang absen kepada pendidik dan tenaga kependidikan lain yang mampu; 
11.berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi jika level ketidakhadiran dianggap sangat menganggu proses belajar-mengajar untuk mendapatkan pertimbangan apakah kegiatan belajar-mengajar perlu diliburkan sementara; 
12.satuan pendidikan tidak harus mampu mengidentifikasi Covid- 19. Kementerian Kesehatan yang akan melakukannya, sehingga satuan pendidikan harus melaporkan dugaan Covid-19 kepada Kementrian Kesehatan setempat untuk dilakukan pengujian. Perlu diingat bahwa, mayoritas penyakit terkait dengan pernafasan bukan merupakan Covid-19; 
13.memastikan makanan yang disediakan di satuan pendidikan merupakan makanan yang sudah dimasak sampai matang; 
sumber :sehatq.com

14.mengingatkan seluruh warga satuan pendidikan untuk tidak berbagi makanan, minuman, dan alat musik tiup; 
15.mengingatkan warga satuan pendidikan untuk menghindari kontak fisik langsung (bersalaman, cium tangan, berpelukan, dan sebagainya); 
16.menunda kegiatan yang mengumpulkan banyak orang atau kegiatan di lingkungan luar satuan pendidikan (berkemah, studi wisata); 
17.membatasi tamu dari luar satuan pendidikan; 
18.warga satuan pendidikan dan keluarga yang berpergian ke negara-negara terjangkit yang dipublikasikan World Health Organization (WHO) diminta untuk tidak melakukan pengantaran, penjemputan, dan berada di area satuan pendidikan untuk 14 hari saat kembali ke tanah air. 

referensi : www.jogloabang.com

Sunday, 29 March 2020

Materi Bimtek Penguatan Karakter Bangsa



Download Disini
Link Bimtek Jakarta Penguatan Karakter Bangsa

Bimtek diadakan dijakarta guna meningkatkan karakter bangsa. Sararan dalam bimtek ini adalah paraguru PPKn sebagai ujung tombak pendidikan karakter di sekolah masing masing 

Kontekstualisasi Nilai Pancasila dan Masa Depan Bangsa

Kontekstualisasi Nilai Pancasila dan Masa Depan Bangsa

Dr. Muhammad Sabri, M.A.
Direktur Pengkajian Materi
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia


Maka dari itu, djikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar  permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sosiale rechtvaardigheid ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi perjoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu, perjoangan kita telah berakhir: Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia Merdeka itu, perjoangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita Bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.
(Ir. Soekarno, 1 Juni 1945)



1 Juni 1945, mungkin tidak sekadar momen kelahiran, tetapi lebih merupakanmonumen ide paling genial pendiri negara Indonesia yang merengkuh cita-cita luhur Pancasila, yaitu: mewujudkan kehidupan rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita-cita luhur tersebut, sepenuhnya terhunjam kukuh dalam Pembukaan UUD NRI 1945 yang lestari hingga kini. Mahakarya dari actus “penggalian” Soekarno dan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan itu bersumber dari denyut-nadi nilai, pesona-haru, religiusitas, adat, kearifan dan keadaban yang tumbuh subur dalam tamansari kebudayaan Nusantara Klasik.
Kutipan di atas, menunjukkan bahwa cita-cita manusia dan bangsa Indonesia telah tertuang dalam Pancasila. Ketika mengenalkan Pancasila pada pidato 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Soekarno sejatinya tidak hanya mengusulkan suatu dasar negara, tetapi juga lompatan besar dan strategis bangsa Indonesia dalam membangun cara pandang diri dan kebudayaan. Alam pikiran masyarakat Nusantara yang sejauh ini ditekuk oleh mentalitas inlander, alam keterjajahan dan inferior, diajak untuk berani merdeka dengan persyaratan minimum, tanpa harus mempersiapkan terlebih dahulu hal-hal yang detil, kecil-kecil, njlimet dan zwaarwichtig.
Soekarno mengajak para pemimpin bangsa tidak ragu menerima dan memperjuangkan kemerdekaan, meski masih terdapat beberapa kekurangan. Karena baginya, kemerdekaan politik merupakan jembatan emas dan di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. “Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan bangsa kita!”
Usulan Soekarno tentang dasar negara Pancasila tidak hanya menjadi solusi pelbagai perbedaan secara prinsip, tetapi pada urutannya diterima semua pihak secara aklamasi. Pidato Soekarno 1 Juni 1945 dipandang sebagai “inventivitas” yang juga bersifat eklektik. Sebuah sikap pemikiran yang mengandaikan pentingnya pembaruan gagasan tanpa mengabaikan ide lain yang juga relevan. Dengan begitu, pidato Soekarno tentang dasar negara Pancasila hadir tidak dimaksudkan untuk mengabaikan atau menolak pikiran-pikiran yang berkembang pada persidangan BPUPK sebelumnya, tetapi berusaha meraih suatu bentuk pembaruan yang menyelamatkan serta menciptakan  sesuatu yang bersifat eklektik dan baru, yaitu dasar negara yang mempersatukan seluruh elemen bangsa. Polarisasi pilihan dasar negara yang sekular dengan “memisahkan” dimensi keagamaan dari pemerintahan dan negara agama (Islam) yang berkembang dalam persidangan sebelumnya dapat ditemukan solusinya. Pancasila dirumuskan bukan sekadar sebagai etika bangsa melainkan sebagai pemecahan masalah yang serius, yaitu tentang dasar Republik yang mau didirikan.
Negara dan agama tidak diletakkan secara diametral dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya diposisikan sebagi suatu entitas yang berbeda (distinction),  sebagai sesuatu yang dapat disinergikan, dan sebagai dualitas yang saling mengisi. Negara dan agama menjadi entitas yang saling menghormati, saling mengharmoni sehingga negara Indonesia bukan negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Di satu sisi, negara “secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama”, khususnya melalui kementerian agama. Di sisi lain, negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. 
Dasar negara Pancasila yang dalam pengandaian Soekarno disebut sebagai  “philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya, untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” bukan sekadar peristiwa politik, tetapi juga peristiwa budaya yang menyangkut cara pandang terhadap realitas dan mindset bangsa Indonesia. Jika sebelumnya warga Nusantara sangat terikat partikularitas agama, etnis, dan budaya—sejak Pancasila dijadikan dasar negara, ideologi dan pandangan-dunia (Weltanschauung)—bangsa Indonesia berubah dan melebur diri sebagai “sebangsa dan setanah air” sembari tetap menghargai  kebhinnekaan yang melekat  pada masing-masing warga. Di titik ini sesungguhnya tengah berlangsung apa yang oleh Clifford Geertz  disebut sebagai “revolusi integratif”, yakni mengubah identitas berbasis kesukuan, agama, dan sistem budaya menjadi identitas kebangsaan.
Masyarakat Nusantara yang masih terikat pada primordialisme diajak bersatu untuk secara bersama-sama keluar dari kepompong primordial melompat masuk ke dalam suatu wadah kebangsaan yang bersifat inklusif. Dalam wadah kebangsaan yang baru, warga diperlakukan secara adil dan beradab dengan basis kesetaraan yang sederajat. Dalam kondisi yang sederajat, sesama warga dapat saling bermusyawarah untuk menentukan kesejahteraan bersama dengan tetap meyakini dimensi spiritual pada Tuhannya masing-masing secara berkebudayaan.
Dalam pengandaian Soekarno, setiap bangsa yang merdeka dan dapat berdiri kukuh harus memiliki Weltanschauung yang digali dan disiapkan sebelumnya. Dalam pidato tanggal 26 Mei 1958 pada kursus Pancasila di hadapan kader-kader Pancasila di Istana Negara, Soekarno  menyatakan, ketika menggali Pancasila, dia sampai ke saf (lapisan) yang paling dalam, yaitu saf pra-Hindu agar Pancasila selain dapat menjadi titik temu yang menyatukan, sebagai alat pemersatu, “meja statis”, juga mampu menjadi “leitstar dinamis” yang dapat memberi orientasi dan cita-cita bangsa ke depan. Pancasila sebagai cita-cita bangsa, sebab itu, memerlukan strategi. Pancasila sebagai spirit kebudayaan Indonesia tidak bisa dimaknai sekadar sebagai warisan budaya yang biasa ditampilkan dalam aneka festival pagelaran seni dan tradisi popular, melainkan lebih sebagai suatu misi dan masa depan bangsa yang harus diperjuangkan terus menerus.
Kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dalam napas kehidupan bangsa Indonesia membutuhkan perjuangan dan suatu strategi kebudayaan. Dengan kata lain, walaupun Pancasila digali dari bumi Nusantara yang paling dalam, sebagai warisan leluhur nenek moyang dan merupakan identitas bangsa, namun untuk menjadi realiteit Pancasila secara kontinum membutuhkan perjuangan.
Dalam konteks itulah Pancasila perlu dipahami secara utuh dengan titik tolak pidato Soekarno 1 Juni 1945 sebagai suatu strategi kebudayaan. Di titik kesadaran ini pula, setiap ikhtiar penggalian spirit dan mutiara nilai-nilai Pancasila memungkinkan kita membangun sistem politik publik kebangsaan yang sehat dan bermartabat, sistem ekonomi berbasis keadilan sosial, hingga konstruksi paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi, bahasa, seni, serta tradisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dapat menjadi landasan kebangsaan yang inklusif dengan menautkan gerak sistem budaya, politik, dan ekonomi agar kreativitas, inventisitas, daya cipta, dan kearifan dapat terus diaktualisasikan dalam laku bernegara dan hidup keseharian. Semua itu dilakukan untuk mencapai cita-cita bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan Makmur.
Perumusan materi sila-sila Pancasila di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 pada intinya menyampaikan pesan tegas dan tekad keras akan keberadaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keabsahan konstitusional Pancasila tidak hanya karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi juga karena kenyataan sosial dan kebenaran kultural. Sila-sila Pancasila sungguh-sungguh merupakan pengalaman dan pergerakan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Sifat dan sikap ini merupakan gugusan kenyataan dan rangkaian kebenaran atas perjalanan dan perkembangan Indonesia. Hal ini makin meneguhkan Pancasila sebagai sebuah cerminan faktual, aktual, dan kontekstual Indonesia Raya.
Pancasila memiliki kewibawaan moral kolektif dan kekuatan kultural karena secara autentik merupakan “Indonesia yang sesungguhnya dan senyatanya.” Pancasila digali Soekarno dari bumi Nusantara klasik, digali dari sifat kepribadian dan sikap kebudayaan nasional, digali dari peradaban Indonsia Raya. Pancasila digali dari kehidupan dan kepribadian nasional Indonesia. Pancasila tidak menjaga jarak, tidak berjarak, dan tidak asing dengan Indonesia. Pancasila justru melekat langsung dengan keindonesiaan dan sudah bersama dengan keindonesiaan sejak dahulu kala sampai seterusnya. Pancasila senantiasa berdiri tegak, berdiri kokoh, dan bergerak dinamis sebagai sebuah ideologi yang melandasi dan mendasari keberadaan dan kemajuan NKRI untuk mewujudkan tujuan nasional dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.
Pemikiran ideologis dan pertimbangan historis ini yang kemudian mengukuhkan Pancasila secara konstitusional di dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Grund Norm. Pancasila di samping sebagai falsafah hidup dan etos masyarakat dan bangsa Indonesia, juga menjadi ideologi dan dasar NKRI. Teks tujuan nasional NKRI dan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara tertera dan teramanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945—untuk selalu mengingatkan dan memastikan bahwa Pancasila mesti diamankan dan dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Titik awal berangkat, proses dinamika berjalan, dan arah akhir perjuangan dan pencapaian tujuan nasional harus terus menerus diselenggarakan berlandaskan dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Pancasila kian bersinar terang benderang manakala diaktualisasikan, dijalankan, dan dibumikan secara utuh dan menyeluruh. Sila-sila Pancasila dipahami dan disemangati untuk diwujudkan maknanya dengan saling melengkapi dan menguatkan. Pemaknaan Pancasila kian menemukan ruang kontekstualisasinya terutama ketika diwujudkan dalam penyelenggaraan negara dan laku kehidupan masyarakat dan bangsa. Penyelenggaraan Pancasila secara utuh dan menyeluruh dengan format dan pola seperti ini pada urutannya melahirkan dan membangkitkan toleransi, sekaligus menguburkan intoleransi dengan segala sesuatu yang beraroma ekstrimisme, fundamentalisme, dan radikalisme dalam aliran tertentu. NKRI dengan ideologi Pancasila menyediakan kepelbagaian (Bhinneka Tunggal Ika). Pancasila adalah sebuah ideologi NKRI yang menjamin keterbukaan dan kebinekaan. Doktrin ini secara pasti tidak pernah menawari dan memberi sebuah perspektif tunggal dan tertutup. Apalagi perspektif tunggal dan tertutup itu bertentangan dengan hakikat Indonesia Raya yang aneka, plural, majemuk (Bhinneka Tunggal Ika) dan bersimpangan nafas dengan Pancasila. Masyarakat dan bangsa Indonesia tidak dilahirkan, tidak didirikan, tidak diperuntukkan, dan tidak dikenal hanya dengan seni dan budaya tunggal, adat istiadat tunggal, suku dan etnik tunggal, agama dan kepercayaan tunggal, profesi dan golongan tunggal. Indonesia justru bertahan, berkekuatan, dikenal dan diperhitungkan karena dibangun di atas kebhinnekaan agama dan kepercayaan, suku dan etnik, profesi dan golongan, bahasa dan busana daerah, adat istiadat, seni, budaya, dan seterusnya.


A.    Kontekstualisasi Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Kehidupan keagamaan (religiousity), khususnya ide tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki jejak panjang dan kontribusi yang tidak kecil dalam formasi kebangsaan Indonesia. Hal tersebut tidak hanya tampak dalam pandangan para pendiri bangsa, tetapi juga telah menjadi arus utama dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat Nusantara klasik. Hal tersebut mengandaikan betapa sentral kesadaran keagamaan dan ketuhanan dalam ruang kebangsaan Indonesia.
Siapa pun yang coba membaca sejarah politik agama-agama dan kepercayaan di Indonesia, akan tiba pada satu kesimpulan bahwa agama telah menjadi “denyut nadi” dinamika yang terus menerus membayangi pergolakan politik di tanah air, sejak usianya yang paling dini. Agama menjadi pertaruhan mulai dari tatanan ideologis, perumusan konstitusi, sampai pada undang-undang dan peraturan di bawahnya. Dalam pendakuan Daniel Dhakidae, “Agama menjadi perumus identitas, kalau bukan menjadi identitas itu sendiri, atau tidak ada identitas dan mungkin juga tidak boleh ada identitas tanpa agama sebagai sumbangan utama di dalamnya.” Akan tetapi, lanjut Dhakidae dengan ungkapan sangat plastis:

“Kalau memang agama itu begitu pentingnya, mengapa hanya boleh ada lima agama? Dengan kehadiran kelompok etnik dan bahasa yang langsung berhubungan dengan itu sebanyak kurang lebih 300 di Indonesia, bisa diduga ada kurang lebih 300 agama tersebar di seluruh Nusantara, dan dengan demikian bisa diduga ada 300 Tuhan dan Allah yang disembah. Lantas di mana kurang lebih 295 agama lain itu?”

Pernyataan cukup kritis Dhakidae itu pada urutannya membuka perspektif lain dalam membaca dinamika kehidupan beragama dan berkepercayaan di tanah air. Sebab, penggunaan kosakata “agama” dalam konteks keagamaan di Indonesia sekarang, memiliki pemaknaan pejoratif yakni “agama yang diakui negara” , yang dengan sendirinya tidak mencakup segala jenis “kepercayaan” atau “keyakinan” yang telah tumbuh secara historis-endomik di bumi Nusantara klasik. Dalam kajian Niels Mulder  menunjukkan bahwa baru pada ahun 1961 Departemen Agama  berhasil merumuskan definisi “minimum” tentang agama yang menjadi definisi resmi sampai sekarang, setelah upaya sebelumnya (1952) kandas di tengah jalan. Mulder mengingatkan, kebijakan tersebut dilatari oleh suburnya kelompok-kelompok kebatinan pada masa itu. Departemen Agama melaporkan bahwa pada tahun 1953, tak kurang dari 360 kelompok kebatinan yang hidup di seluruh Jawa. Kelompok-kelompok ini memainkan peranan menentukan sehingga pada Pemilu 1955 partai-partai Islam gagal memperoleh suara mayoritas dan hanya meraih 42 persen suara. Pada tahun yang sama BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) didirikan di bawah kepemimpinan Mr. Wongsonegoro. Tahun 1957, BKKI mendesak Presiden Soekarno agar mengakui secara formal bahwa “kebatinan” setara dengan “agama”.
Konstelasi politik inilah yang mendorong Departemen Agama pada tahun 1961 mengajukan definisi “agama”. Suatu “agama” menurut definisi itu, harus memenuhi unsur-unsur penting ini: kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya.  Tentu saja, dengan definisi itu, tak sedikit kelompok kepercayaan, kebatinan, atau  kelompok-kelompok masyarakat yang masih mempertahankan adat istiadat dan praktik-praktik religi lokal seperti animisme, dinamisme, dan seterusnya tidak tercakup di dalamnya sehingga mereka digolongkan sebagai orang yang “belum Beragama”. 
Dengan pendefinisian seperti itu, kelompok-kelompok kepercayaan, kebatinan, mayarakat adat, penganut kepercayaan lokal, dan seterusnya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara—mereka yang, meminjam ungkapan Dhakidae di atas, termasuk dalam “295 agama lain itu”—terpinggirkan, praktik-praktik religi lokal mereka ternafikan,  atau bahkan sering dicap sebagai aliran “sesat dan menyesatkan”. Tetapi, pada saat bersamaan mereka, religi-religi lokal itu, seperti Parmalim (Batak), Patuntung (Bulukumba), Alu’tudolo (Tana Toraja), Binanga Benteng (Selayar), Tolotang (Sidrap), Wiwitan (Sunda), Kaharingan (Dayak), Tengger (Jawa), Bissu (Pangkep)—yang secara otonom tumbuh dan bukan derivasi agama tertentu—juga diharapkan akan masuk dan memeluk salah satu agama yang “diakui” negara. Di sini tampak jika negara mesti hadir dan mengayomi keanekaan agama-agama historis-endomik itu, yang keberadaannya dalam sejarah jauh sebelum lahirnya negara Indonesia modern. Di titik ini, agaknya bangsa ini bisa mempertimbangkan perspektif philosophia perennis, sebuah doktrin filsafat purba yang mengandaikan the heart of religions: bahwa di dalam jantung setiap agama dan tradisi autentik merengkuh misi dan pesan kebenaran yang sama. Jika ini menjadi tumpuan kesadaran kolektif—maka Indonesia sebagai bangsa bhinneka—bisa  menjadi rumah besar bersama yang nyaman, indah, dan damai.
Sejatinya, dalam perspektif Religious Studies, titah, isyarat, atau pun hukum yang dikalamkan Tuhan dari “langit,” selamanya punya dimensi profan. Di sana—di setiap napas nubuat kudus—ada jejak tegas yang tersisa: bahwa Yang Abadi sekekalnya saling membelah dengan “bumi” yang guyah. Dan, kebenaran selalu hadir dalam bentang sejarah yang aneka, di tangan agung seorang utusan yang cemerlang, tetapi unik. Cahaya dan gelap acapkali saling bertukar tangkap dengan semesta-kode langit yang tak tunai dalam kalam. Sejak itu agama menemukan sangkarnya di bumi.
Jejak agama-agama, karena itu, bukan sepenuhnya petanda langit, tetapi juga geliat peristiwa bumi. Dalam The Transcendent Unity of Religions, Fritjhof Schuon mengenalkan kembali philosophia perennis—sebuah kearifan antik—yang mengandaikan kaitan seluruh eksistensi yang ada dengan Realitas Mutlak. Wujud kearifan itu disebut “Tradition” yang hanya dapat dicapai melalui Intellectus—istilah yang dipopulerkan Plotinus (3 M)—sebagai  ungkapan lain dari soul atau spirit. Manifestasi “Tradition”  yang diyakini kaum parennial sebagai berasal dari Tuhan, memiliki paras yang jamak dalam sejarah: agama-agam, filsafat, kearifan, seni, tradisi, ritus, simbol, doktrin, dan seterusnya.
Pada intinya, dasar-dasar teoretis kearifan philosophia perennis tentang “Tradition” terdapat dalam jantung setiap agama dan tradisi autentik: tradisi Budha menyebutnya dharma, Taoisme (tao), Hinduisme (sanathâna), Islam (al-dîn), dan Patuntung (lalang). Dengan cara—yang dalam philosophia perennis disebut sebagai “transenden” itu—semua  ritus, doktrin dan simbol keagamaan terpaut dalam sebuah scientia sacra (“pengetahuan-suci”) yang melampaui bentuk formal agama.
Dari arus sejarah yang mengalir, lahir kesaksian bahwa Indonesia adalah bangsa yang aneka dan penuh warna: Gugus kepulauan yang terbentang luas di hamparan maritim laksana mutiara manikam yang eksotik, semesta tradisi dan cakrawal etnik yang jamak, hingga galaksi agama dan keyakinan tumbuh bersama dan memintal harmoni oase peradaban Nusantara klasik. Perjumpaan agama “mainstream”—yang biasanya menjadi agama kerajaan lokal—dengan agama minoritas, tidak tersandera dalam pola relasi “resmi-tak resmi”, tetapi saling menjaga dan menghormati. Sejatinya, hal ini dapat  menjadi modal sosial dan modal historis bagi keutuhan bangsa Indonesia.
Meski demikian, telah menjadi pengetahuan jamak, tantangan paling serius dalam kehidupan antar umat beragama di tanah air dewasa ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama orang lain. Sebab, kenyataan menunjukkan bahwa pergaulan antar agama kini kian memperlihatkan intensitasnya. Sehingga tidak mengherankan jika tak sedikit kalangan memandang zaman sekarang sebagai “zaman baru” (New Age), yang mencirikan pesatnya perhatian manusia terhadap dunia spiritual. Semboyan yang ditulis John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000: Ten New Directions for the 1990’s, yang menyebut “Spirituality, Yes, Organized Religion, No”, menandai besarnya perhatian ini—khususnya  dari manusia Barat—terhadap  spiritualitas Timur.
Bila ditelusuri lebih jauh, semangat di balik semboyan Naisbitt-Aburdene itu, sesungguhnya telah lama dikenal di kalangan masyarakat tertentu, di Barat maupun Timur. Mereka ini menginsafi perlunya spiritualisme dalam hidup manusia, namun mereka amat kritis terhadap agama-agama mapan, jika tidak ditolaknya sama sekali. Sebut saja misalnya Albert Einstein dan Thomas Jefferson. Tokoh yang terakhir ini misalnya, mengaku percaya kepada Tuhan (Deisme), kepada Kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme) dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme), tanpa perlu mengaitkan kepada salah satu dari agama-agama formal yang ada. Bahkan Jefferson meramalkan bahwa pahamnya itu akan menjadi agama seluruh umat manusia, dan dalam jangka dua ratus tahun akan menggeser agama-agama formal.
Memang benar, spiritualisme Jefferson mampu memesonakan masyarakat Amerika saat itu, sementara jargon-jargon yang dikenalkannya pun relatif baru dan sangat tipikal Deisme alami seperti Laws of Nature dan Nature’s God. Tapi ramalan bahwa Deisme-Unitarianisme-Universalismenya akan menggeser agama-agama formal ternyata meleset sama sekali. Justru, berlawanan dengan ramalan Jefferson, agama-agama formal dewasa ini malah bangkit kembali, sehingga tidak kurang dari seorang cendekiawan Indonesia Soedjatmoko, mengandaikan bahwa “abad mendatang ini adalah abad spiritualitas melalui agama-agama formal.”  Dengan begitu, agaknya, semboyan “Spirituality, Yes, Organized Religion, No” kian kehilangan pijakannya.
Kendati demikian menarik sekali mengkaji uraian Naisbitt-Aburdene  mengenai kehidupan beragama di bawah semboyan tersebut. Sebab dari polling pendapat yang dikumpulkannya memperlihatkan adanya indikasi menaiknya spiritualisme di kalangan masyarakat Amerika, lebih tinggi dari masa-masa sebelumnya. Sejumlah besar dari mereka percaya bila “Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif”, meskipun gejala itu disertai dengan menurunnya peranan agama-agama formal. Kalangan muda terpelajar di sejumlah perguruan tinggi adalah yang pertama-tama bersikap sangat kritis kepada agama-agama formal. Mereka menilai gereja dan sinagog “sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dengan meminggirkan isu-isu teologis dan spiritual”. Maka, demikian Naisbitt-Aburdene, mereka, kaum muda itu bukannya manusia “beragama” (religious) tetapi “berkeruhanian” (spiritual).
Sedemikian besar perhatian masyarakat Barat terhadap kehidupan spiritualitas, sehingga pada akhir dasawarsa 1980-an terbit sebuah ensiklopedi besar berjilid 25, World Spirituality: An Encyclopedic History of the Religions Quest yang sangat sarat pengetahuan spiritual di zaman arkaik, agama-agama, esoteris modern, hingga satu jilid berkaitan dengan pertanyaan sekular atas keabsahan spiritualitas itu sendiri.
Sementara itu, satu masalah mendasar yang selalu menghadang adalah munculnya kebingungan-kebingungan teologis, khususnya bagaimana seseorang mesti mendefinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Padahal, seperti diketahui bila teologi lama di set-up dan sejarah pun kemudian mengekstremkannya dalam suatu kondisi non pluralitas: “Bahwa hanya agamakulah yang paling benar, sementara agama lain menyimpang.”  Belum lagi masalah-masalah sosial-politik yang sering tiba-tiba memunculkan ketegangan dan krisis di kalangan antar pemeluk keagamaan. Untuk fenomena terakhir dapat disaksikan pada peristiwa-peristiwa lokal belakangan ini, yang juga timbul di pelbagai kawasan.
Tak sedikit pemikir mencoba menanggapi fenomena tersebut. Hugh Goddard misalnya seorang Kristiani, dosen Teologi Islam di Nottingham University Inggris menulis sebuah buku yang cukup menantang: Christians and Muslims, from Double Standards to Mutual Understanding (1995). Buku ini melukiskan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristen-Islam, apa yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman—bahkan  menimbulkan suasana “saling mengancam” satu sama lain—adalah  tak lain dari kondisi “standar ganda” (double standards) yang menyelimuti konstruk teologi mereka.
Dengan kata lain, orang Kristen ataupun Islam menetapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya—yang  biasanya standar itu bersifat ideal-sakral-transenden—sementara  penilaian terhadap agama lain memakai standar lain, yang lebih bersifat empiris-profan-historis. Melalui standar ganda ini muncul prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang pada urutannya memperkeruh hubungan antar umat beragama.
Dalam perspektif teologi misalnya, ”standar ganda” itu lahir dalam bentuk kesadaran kuat bahwa: agama kita adalah agama yang paling sejati dan asli berasal dari Tuhan, sementara agama lain tak lebih dari konstruksi manusia atau setidaknya berasal dari Tuhan tapi telah direduksi sedemikian rupa oleh pemeluknya sehingga memperlihatkan konstruk agama yang “manusiawi”. Dalam sejarah pun, mentalitas double standards ini memperlihatkan dirinya lebih ekstrem dalam bentuk klaim kebenaran (truth claim) antara satu agama tertentu  yang menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama yang menilai. Dalam konteks seperti inilah pelbagai krisis lalu muncul di kalangan antar umat beragama.
Ilmuwan lain yang melihat bahwa munculnya krisis akibat kompleksitas hubungan antar umat beragama adalah Arthur J. D’Adamo. Bagi D’Adamo, penulis Science Without Bounds, A Synthesis of Science, Religion and Mystics (1995) ini, bahwa “cara pandang agama” (Religion’s Way of Knowing) yang eksklusif justru menjadi akar seluruh konflik antar umat beragama yang timbul kemudian. Karakteristik Religion’s Way of Knowing—demikian  D’Adamo—berangkat  dari sebuah paradigma bahwa hanya agama dan kitab sucinyalah sumber kebenaran, dan sepenuhnya diyakini sebagai: (1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan sama sekali; (2) bersifat lengkap dan final dan karena itu memang tidak diperlukan kebenaran dari agama lain; (3) kebenaran agama sendiri; dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan atau pembebasan; dan (4) seluruh kebenaran itu diyakini original dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. 
 Akar krisis epistemologis yang diungkapkan D’Adamo, jelas bisa mengejutkan banyak pihak, terlebih mereka yang beragama secara taat. Apalagi dalam pandangan D’Adamo ini, Religion’s Way of Knowing dilihat sebagai sesuatu yang tidak kritis. Padahal—bayangkan  saja—agama  mana yang tidak mengakui bahwa agama dan kitab sucinya itu bersifat konsisten, dan penuh dengan kebenaran tanpa kesalahan sama sekali; bersifat lengkap dan final, karena itu tak ada lagi dan juga tidak diperlukan kebenaran lain, apalagi kebenaran agama baru setelah agamanya sendiri. Juga agama mana yang tidak mengakui bahwa hanya agamanyalah yang merupakan satu-satunya jalan keselamatan atau jalan pembebasan. Apalagi kitab suci yang merupakan rujukan dasar dari cara beragama dan penyelamatannya itu memang diakui betul-betul berasal dari Tuhan.  Bahkan di sini dapat ditegaskan bahwa hanya bangunan keimanan yang sakitlah yang meragukan agama dan kitab sucinya sebagai sesuatu yang benar dan berasal dari Tuhan.
Dalam perspektif modern—seperti ditunjukkan antara lain oleh D’Adamo—bahwa Religion’s way of knowing jelas bisa menimbulkan masalah besar, khususnya jika suatu agama berhadapan dengan agama lainnya.  Masalah yang bisa timbul adalah “perang” klaim kebenaran (truth claim) dan selanjutnya perang klaim keselamatan (salvation claim).
Sementara, dari sudut pandang sosiologis, claim of truth dan claim of salvation ini telah melahirkan berbagai konflik sosial-politik yang pada urutannya meletuskan tidak sedikit perang antar agama,  yang hingga kini masih tampak geliatnya meski dengan bentuk yang relatif berbeda.
Akan tetapi, satu hal yang membingungkan—baik  secara teologis maupun epistemologis—adanya  kenyataan yang menunjukkan bahwa agama lain juga memiliki klaim serupa, bahkan dengan tingkat kecanggihan teoretis yang tidak kalah rasionalnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah ruang yang memungkinkan hidup rukun dan harmonis terwujud dalam kehidupan antar umat beragama—sementara  pluralitas agama, keragaman bangunan teologi, pemikiran, budaya dan historisitas masing-masing agama—secara  ketat dan dinamis ”bersentuhan” langsung dalam kehidupan keseharian mereka? Atau dengan ungkapan sebaliknya: mungkinkah pluralitas keagamaan dapat berjumpa dalam sebuah ”titik temu” terutama dalam merumuskan “kebenaran universal” demi terciptanya keharmonisan hidup bersesama di kalangan antar umat beragama di tanah air?
Setidaknya terdapat dua jawaban atas pertanyaan itu. Pertama, mereka yang bersikap pesimistik. Kalangan ini melihat adanya kesulitan teologis ataupun epistemologis untuk ”mempertemukan” pelbagai keyakinan yang ada. Sebab bagi masing-masing pemeluk agama, tidak semata terletak pada rumusan tapi juga substansi kebenaran mereka berbeda secara radikal. Sementara kelompok kedua, lebih terbuka, optimistik dan karena itu pula mengapresiasi dialog. Kelompok terakhir ini, mengajak pelbagai bentuk agama dan tradisi yang autentik agar memiliki visi “universal” dalam merumuskan apa yang dalam filsafat disebut the meaning and the purpose of life (makna dan tujuan hidup). Itu sebab, dalam konteks ini perjumpaan berbagai bentuk keagamaan yang terpenting tidak semata-mata pada dataran ”bentuk” atau formalnya (eksoteris), namun lebih ditekankan pada aspek “dalam” dan ”isi” (esoteris)nya. Karena menurut keyakinan kelompok ini, hanya dengan melepaskan klaim-klaim kebenaran dan keselamatan yang berlebih, mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering dipakai menghakimi agama lain dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif teologi, barulah agama-agama akan mempunyai peran penting di masa depan, khususnya dalam upaya membangun dasar spiritualitas peradaban umat manusia.
 Berangkat dari kesadaran untuk mendialogkan agama dari tataran substansinya, di mana agama pada dasarnya dipandang sebagai relatively absolute (hanya secara relatif absolut), atau jika dibalik absolutely relative atas klaim-klaim kebenaran yang secara tradisional memang inheren dalam agama maka agama bisa diharapkan kembali seperti sedianya mengambil peran pembebasan (interior dan eksterior) atas kemanusiaan. Perspektif terakhir inilah yang dikenal belakangan sebagai philosophia perennis.   
Dari uraian tersebut di atas, serangkaian pertanyaan terbit: seberapa jauhkah relevansi philosophia perennis sebagai sebuah perspektif studi lintas iman kini dan di masa depan di Indonesia? Sejauh manakah relevansi visun philosophia perennis terhadap kehidupan beragama di Indonesia, khususnya bagi perumusan resolusi konflik antar umat beragama yang belakangan kian menampakkan intensitasnya di tanah air.
Paragraf-paragraf berikut ini akan coba menawarkan pergaulan antar agama dalam perspektif philosophia perennis—sebuah perspektif  yang secara epistemik tidak saja berpeluang meneguhkan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekaligus memberi uraian teoretik apa yang  diungkapkan Soekarno pada Pidato 1 Juni 1945 sebagai ”Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi  pekerti luhur, dan Ketuhanan yang saling menghormati satu sama lain”.

1.    Kerangka Konseptual
Mengawali tulisan ini, sangat perlu agaknya mempertegas apa yang dimaksud dengan philosophia perennis atau terkadang juga disebut sophia perennis. Dalam telaah S. H. Nasr, “Kedua kata itu tidak sepenuhnya identik: yang pertama lebih bersifat intelektual, sementara yang kedua lebih merupakan aspek perwujudannya.” 
Dalam sejarah, perennial philosophy (Inggris), philosophia perennis (Latin) dan al-hikmah al-khâlidah (Arab), telah digunakan secara luas oleh aliran-aliran pemikiran, dari kaum neo-Thomis hingga Aldous Huxley. Bahkan nama terakhir ini membuat istilah perennial philosophy demikian populernya di kalangan banyak mahasiswa yang bukan spesialis dalam studi agama dan filsafat, karena ia menggunakan istilah tersebut untuk judul bukunya The Perennial Philosophy, yang terkenal itu. Karena demikian luasnya istilah itu digunakan sehingga perlu dijernihkan dalam konteks studi ini.
Kata philosophia perennis—seperti ditekankan selama ini oleh A.K. Coomaraswamy—dimaksudkan sebagai pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada, yang bersifat universal. “Ada” dalam pengertian di antara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu maupun yang berkaitan dengan prinsip-universal. Di samping itu, pengetahuan yang diperoleh intellectus ini diandaikan Schuon terdapat dalam jantung semua agama dan tradisi   yang autentik.
Sementara itu, Aldous Huxley menyebutkan bahwa philosophia perennis adalah:  (1) metafisika yang memperlihatkan suatu hakekat kenyataan Ilahi, dalam segala sesuatu: kehidupan dan pemikiran, (2) suatu psikologi yang memperlihatkan adanya suatu jiwa (soul) manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi itu; dan (3) etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan—yang bersifat imanen maupun transenden—mengenai  seluruh keberadaan.
Sedangkan Frithjof Schuon mengungkapkan bahwa philosophia perennis adalah, “The timeless metaphysical truth underlying the diverse religions, whose written sources are the revealed scriptured as well as the writing of the gread spiritual masters”. 
Dengan begitu, philosophia perennis memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan Realitas Mutlak. Wujud pengetahuan tersebut dari dalam manusia hanya dapat dicapai melalui Intelek—istilah yang telah dikenal sejak zaman Plotinus lewat karyanya The six Enneads—sebagai ungkapan lain dari soul atau Spirit. “Jalan” inipun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini oleh kalangan perennial sebagai berasal dari Tuhan.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa philosophia perennis adalah satu perspektif yang mengandaikan adanya “kesatuan transenden” atau “kesatuan spiritual” pada setiap agama dan tradisi autentik. Perspektif ini, tidak semata mengedepankan aspek-aspek “dalam” (esoteris) dari setiap bentuk keagamaan, tetapi juga memiliki kemampuan mengeliminir sejumlah perbedaan eksternalitas agama. Meskipun demikian, tidak dengan sendirinya berarti philosophia perennis berpandangan bahwa “semua agama adalah sama”: Suatu pengandaian yang sama sekali a-historis dan tidak menghormati religiusitas yang partikular. Sebaliknya, philosophia perennis justru berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi. Tetapi dari yang Satu ini memancarkan berbagai “kebenaran” (truths) sebagaimana halnya matahari yang secara niscaya memancarkan cahayanya.
Dengan mengembangkan perspektif transendental ini ditemukan kemudian adanya norma-norma abadi yang hidup dalam jantung setiap agama-agama besar maupun tradisi-tradisi spiritual kuno. The heart of religion inilah yang bersifat Ilahi dari agama-agama itu serta menjadi kajian serius—dan pada urutannya diyakini lalu disiarkan—oleh  kaum perennialis. Dengan kata lain, upaya transenden-metafisis inilah yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai “kunci” agar manusia dapat memahami ajaran agama-agama yang sangat kompleks, aneka, dan penuh misteri yang tak pernah dapat diselami maknanya lewat analisis empiris apalagi historis sebagaimana yang dilakukan oleh para sarjana agama-agama sejauh ini. Karena itulah, kajian tentang philosophia perennis tidak saja menawarkan perspektif alternatif bagi studi lintas iman di masa depan yang dekat, tetapi juga mengokohkan wacana dialog intra-religius di kalangan umat beragama yang pada urutannya diharapkan mampu menjadi resolusi konflik antar umat beragama di tanah air.
Meski demikian, tidak berarti philosophia perennis sunyi dari kritik. Sebut saja misalnya para ahli agama yang tidak percaya akan adanya “kesatuan transenden”, memandang philosophia perennis sebagai sesuatu yang tidak ada dan hanya merupakan imajinasi dari para penganut philosophia perennis saja. Apalagi jika secara empiris mereka hanya mampu melihat pertentangan-pertentangan yang terdapat dalam agama-agama sementara mereka tidak mau melihat adanya the common vision dari agama-agama dan tradisi yang autentik tersebut.
F. Zaehner umpamanya, sebagai seorang Kristen yang ahli Hindu dan Sufi menyebut, ”Alih-alih kesatuan, justru lebih banyak pertentangan dalam agama yang satu dengan yang lain.” Di kalangan tradisional Islam juga tidak sedikit yang menolak gagasan “kesatuan transenden” ini, seperti Seyyed Naquib al-Attas. Pada hal dengan philosophia perennis ini—tentu  saja bagi penganut kearifan ini—disadari  adanya “yang Infinite” atau ”Yang Tak Terhingga” di balik kenyataan (levels of Reality [alam terrestrial, intermediate, celestial]). Juga dalam diri manusia—yang  dalam philosophia perennis disebut levels of selfhood—terdiri  dari body, mind, soul, atau dalam istilah Islam, jasad, nafs, dan ‘aql dipercayai adanya apa yang disebut “Spirit” (Ruh). Alam semesta (macrocosmic) dan manusia (microcosmic) pada dasarnya memiliki ikatan “persaudaraan kosmik” dan karena itu tak lebih sebagai tajalli atau bentuk  perwujudan dari Yang Infinite/Spirit ini, yang dalam Islam disebut al-Haqq.        
Karena kepercayaan akan adanya levels of Reality dan levels of Selfhood, maka para penganut filsafat ini memercayai  adanya dunia yang bersifat hirarkis. Huston Smith dalam bukunya The Forgotten Truth (1992) menyebut tingkat-tingkat ini sebagai the great chain of being (”mata rantai agung seluruh keberadaan”). Atau E.F. Schumacher yang menyebutkan dengan istilah the hierarchy of existence (”tingkat-tingkat eksistensi”), mulai dari Tuhan pada peringkat tertinggi hingga manusia dan makhluk-makhluk/benda-benda “di bawah” manusia. Atau sebaliknya dari benda-benda mati pada tingkat paling rendah, hingga Tuhan pada tingkat paling tinggi dan Tak Tepermanai.
Dari sudut pandang hirarkis atau tingkat-tingkat eksistensi inilah dibangun sebuah argumen bahwa “Tradisi” adalah jalan yang memberitahu kita bagaimana menempuh pendakian dari tingkat eksistensi/realitas yang lebih rendah—yaitu  kehidupan sehari-hari ini—sampai  ke tingkat/realitas yang paling tinggi; kepada Tuhan melalui pengalaman-pengalaman kesatuan mistis (mystical union), pengalaman kesatuan transendental atau wahdat al-Wujud dan pengalaman-pengalaman spiritual lainnya.
Dalam konsteks ini tampak jelas bahwa salah satu tema terpenting dalam kajian philosophia perennis adalah the transcendent unity of religions atau “kesatuan transenden agama-agama”. Dari perspektif ini dapat dipahami bahwa philosophia perennis menawarkan satu ”ruang perjumpaan” antar pemeluk keagamaan dan keyakinan yang lebih bersifat substansial, sejuk, dialogis dan di atas segalanya berada dalam “tataran” spiritual-transendental.
Dengan kata lain, perspektif philosophia perennis  terbangun di atas sebuah paradigma bahwa semua agama dan tradisi yang autentik berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun dalam perjalanan historisitas umat manusia menjumpai sejumlah bentuk keagamaan dan tradisi, tetapi philosophia perennis mengandaikan bahwa semua “jalan kebenaran” berawal dan berakhir pada Kebenaran Tunggal, yaitu Tuhan.
Tak sedikit buku dan artikel yang telah ditulis mengenai philosophia perennis. Sebut saja di antaranya;  Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy (1976), The Transcendent Unity of Religions (1975), Echoes of Perennial Wisdom (1992), Christianity/Islam: Essays on Esoteric Ecumenicism (1981); Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (1990), The One and the Many (1993), Sufi Essays (1972) dan artikelnya, “The Philosophia Perennis and Study of Religion” (1984); Howard P. Kainz, The Philosophy of Man: A New Introduction to Some Perennial Issues (1977); Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (1994). Di samping itu, beberapa karya terjemahan dan buku karangan cendekiawan Muslim Indonesia dapat disebutkan di sini, antara lain; Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta, 1995), Ahmad Norma Permata (ed), Perennialisme: Melacak Jejak Filsafat Abadi (Yogyakarta, 1996) dan Muhammad Sabri, Keberagamaan yang Saling Menyapa: Perspektif Filsafat Perennial (Yogyakarta, 1998). Sebagai sebuah perspektif—tentunya dalam keyakinan para penganut kearifan ini—philosophia perennis dapat menjadi salah satu bentuk pendekatan dalam hubungan lintas-agama. Yang ditawarkan di sini ialah “dialog lintas-iman” (interfaith dialogue), sebuah dialog yang lebih substansial dan berlangsung di kalangan para pemeluk keagamaan dan keyakinan untuk melihat masalah kemanusiaan bersama dalam perspektif keimanan masing-masing. Dengan kata lain, perspektif ini mengajak seluruh penganut agama dan tradisi autentik yang ada, agar “pesan kebenaran” agama—khususnya dari “makna-dalam” (esoterisnya)—dapat  menjadi perspektif dan sumber motivasi dalam melihat serta memecahkan problem kolektif umat beragama dan karena itu juga masalah kemanusiaan secara keseluruhan. Berangkat dari kesadaran seperti itu, diharapkan perspektif ini memiliki relevansi kuat terhadap kondisi obyektif bangsa Indonesia yang plural dan acap kali terancam konflik dan konfrontasi antar umat beragama karena dipicu oleh paham keagamaan tertentu.
Dari sejumlah penelitian menunjukkan, pendekatan studi agama yang bersifat empiris-historis an sich menciptakan reduksionisme agama yang begitu hebat dan berakibat pada lahirnya pemahaman keagamaan yang “kering” karena pendekatan ini tak mampu menyelami makna-dalam (esoteris) agama yang tengah diteliti. Sementara pendekatan philosophia perennis semata yang bersifat normatif-filisofis-esoterik cenderung mengalami “kemacetan” dalam menstudi empirikalitas eksternal agama (eksoteriknya), sebab lebih menekankan pencarian makna transendensi agama. Karena itu studi agama membutuhkan paradigma ganda: empiris-historis-eksoterik dan normatif-perennialistik-esoterik. Integrasi dan sintesa kreatif antar kedua bentuk pendekatan inilah yang diharapkan kelak lebih relevan dan diprediksi menjadi corak dominan studi lintas iman kini dan di masa depan yang tidak terlalu jauh.





2.    Ketuhanan Yang Maha Esa: Akar Kesatuan Transendensi Agama-agama
Tak sedikit peneliti yang mengandaikan Indonesia sebagai  sebuah melting pot dan sekaligus ”super market” yang ramai bagi pengaruh agama-agama dunia. Agama-agama dunia datang silih berganti. Satu menggantikan yang lain, tetapi dalam arti tertentu juga ada semacam pola amalgamasi: baik antar sesama agama dari luar maupun antara agama luar dengan tradisi agama lokal. Dari catatan sejarah, tampak bahwa pola hubungan antar agama di masa lalu yang jauh sangat dipengaruhi oleh politik stelsel dan politik keagamaan pemerintah kolonialisme Belanda. Masing-masing pihak dibiarkan dalam sebuah hubungan anti-tesis, persaingan dan ketegangan. Syakwasangka dan sikap ignoran sengaja disulut demi kepentingan politik Kolonial. Pemerintah kolonial melakukan politik keagamaan yang hanya bersumbu pada dogma dan bukan pada etika; pada doktrin dan bukan pada perilaku. Akibatnya, kehidupan agama bercorak eksklusif dan kehilangan inspirasi yang segar bagi umat dan masyarakat untuk menuntut perbaikan nasib. Agama boleh menjadi apa saja asal tidak menjadi agama pencerahan atau agama pembebasan. Oleh elit penguasa Kolonial, komunikasi antar-agama dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berjalan secara bebas dan terbuka. Pada saat itu agama telah kehilangan “daya tohok psikologis” atau psychological striking force untuk sebuah perubahan yang lebih baik.
Sejak abad 19, agama-agama muncul dalam sebuah fase formatif yang ditandai oleh upaya untuk merumuskan ajaran-ajaran dan pendidikan yang dirasa cocok dengan tantangan yang muncul saat itu. Terjalinnya hubungan dengan pusat-pusat keagamaan di luar negeri menyebabkan munculnya gerakan purifikasi  agama. Ortodoksi lalu menjadi ciri yang menonjol. Sebut saja misalnya, kekristenan menjadi identik Barat, begitu pula Islam lebih berkiblat ke Tanah Arab, Hindu ke India, dan Budha ke Srilangka atau Thailand. Proses purifikasi ini sering pula dimuati oleh masalah-masalah luar—baik  berupa problem historis maupun teologis—ke  dalam negeri. Pada gilirannya, problem-problem impor tersebut bisa menjadi problem laten dan sukar dicari jalan keluarnya. Sekadar contoh, stigma sejarah yang pahit tentang ”Perang Salib” turut mengemuka juga di Indonesia. Dendam sejarah, kebencian dan permusuhan bisa muncul kembali ketika cerita tentang perang yang berjalan selama berabad-abad itu dibaca dalam konteks pemahaman yang salah. Begitu pula perang yang terjadi antara golongan Protestan dan Katolik di sejarah Eropa bisa pula menimbulkan trauma yang sama serta menimbulkan kembali prasangka keagamaan yang negatif. 
Daftar panjang “perang agama” bisa ditambah dengan konflik-konflik di zaman modern sebagaimana yang terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Israel, Bosnia, dll. Bahkan fenomena kerusuhan terkini yang cukup akut dan menebarkan api kebencian antar umat beragama seperti terjadi di sejumlah kota di tanah air: Luwu, Poso, Maluku, Sampit, Yogyakarta, Tolikara—untuk  sekadar menyebut beberapa di antaranya—dapat  dipandang sebagai kelanjutan logis dari stigma masa lalu tentang “perang agama” tersebut. Dalam konteks ini, agama-agama bisa berperan sebagai minyak di atas nyala api yang membakar: alangkah panasnya nyala itu menyiksa dan melumatkan sekian banyak manusia di panggung sejarah. Suara-suara pesimistis terhadap fenomena agama bahkan menyimpulkan: sekali agama berperan dalam konflik dan peperangan, sulit orang keluar dari sana tanpa luka-luka sosial dan ruhani yang mendalam.  Demikian pula halnya dengan konflik yang dipicu oleh kecemburuan sosial-ekonomi dan dibingkai oleh sentimen etnis, acap kali justru semakin menambah wajah buram bangsa kita. Di sini tampak jelas bahwa pemicu lahirnya sejumlah konflik di atas pentas sejarah kemanusiaan tidaklah berdiri tunggal  tetapi dibangun di atas stigma yang demikian kompleks dan menyentuh wilayah sensitifitas kesadaran kolektif manusia.
Dalam konteks ini, kesadaran akan kepelbagaian atau pluralisme lalu menjadi nilai yang sangat penting. Kendati demikian, secara dini kita perlu membedakan dua persitilahan yang memiliki kemiripan: “pluralitas” dan “pluralisme.” Sebab tak sedikit kalangan acap kali mengacaukan penggunaan dua persitilahan tersebut.  Pluralitas adalah sebuah fakta tentang kepelbagaian yang ada secara alami dan berdasarkan hukum alam: ras, warna kulit, suku, agama, budaya, jenis kelamin dan seterusnya. Pluralitas, karena itu,  bukanlah sebuah pilihan tetapi anugerah Tuhan bagi manusia. Itu sebab, tak ada yang salah dalam pluralitas. Persoalannya kemudian: bagaimana seseorang menyikapi kepelbagaian itu? Rumusan jawab terhadap pertanyaan itulah kelak melahirkan pluralisme. Karena itu, pluralisme di sini tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku, bahasa, tradisi, dan agama—yang  justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi—bukannya pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep to fanaticism at bay). Sebaliknya, pluralisme—seperti digambarkan secara amat baik oleh Nurcholish Madjid—mesti dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (geniune engagement of diversities within the bonds of civility).   Karena itu, pluralisme adalah sebuah sikap yang mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan, bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau kepelbagaian itu. Dalam konteks teologi lintas-agama misalnya, pluralisme membangun  sebuah postulat: bahwa dalam jantung setiap agama dan tradisi  autentik mempunyai pesan kebenaran yang sama yakni kita semua ”berasal” dan akan ”kembali” kepada satu tujuan yang sama: kepada Yang Absolut, Yang Awal-Yang Akhir, Yang Hollygious atau dalam teologi disebut sebagai Tuhan.
Akan tetapi dalam konteks kebangsaan kita, belakangan ini paham kebinekaan atau pluralisme terancam sirna dan keutuhan bangsa sebagai nation-state pun terkoyak—menyusul sejumlah fakta kerusuhan sosial yang membara di sejumlah kota di tanah air—ditengarai karena dipicu oleh masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang sangat kompleks. Terlepas dari berbagai analisis tentang apakah akar-akar konflik sosial itu terletak pada wilayah ekonomi, politik, sosial, budaya, etnis atau agama, namun aspek terakhir diyakini sementara pihak sebagai faktor yang paling sensitif memicu kerusuhan tersebut. 
Sejauh ini, kepelbagaian (pluralitas)—yang oleh rezim politik Orde Baru bahkan secara pejoratif telah mempopulerkannya dengan istilah SARA—tampak tidak dikelola secara baik. Perdebatan masalah-masalah penting dari agama-agama misalnya, tidak pernah dikemukakan secara transparan demi mendapatkan “titik-titik pertemuan” bersama. Pendidikan agama pun cenderung diajarkan secara literer, formalistik dan adhoc sehingga wawasan pluralisme atau kebinekaan yang menjadi realitas masyarakat justru tidak tampak sama sekali. Pengajaran agama yang mencoba menumbuhkan kritisisme dan apresiasi atas agamanya sendiri atau agama orang lain bahkan  bisa dikategorikan menyesatkan. Sebab salah satu masalah mendasar yang selalu menghadang adalah munculnya kebingungan-kebingungan teologis, khususnya menyangkut sikap: bagaimana seseorang harus mendefinisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama lain  yang juga eksis dan punya keabsahan? Di masa rezim politik Orde Baru, SARA bukannya diterima sebagai anugerah Tuhan, tetapi bahkan menjadi bingkai pemicu konflik dan penebar kebencian di kalangan masyarakat. Parahnya, dunia pendidikan—terutama bila mencoba menelaah kurikulum dan silabi yang diberlakukannya—sangat  tidak kondusif bagi terciptanya suasana dialogis dan mendorong spirit kebinekaan, demokratis dan penuh dengan suasana kekeluargaan.  Sementara dalam kehidupan sosial juga telah terbangun stigma tentang SARA yang cenderung dimaknai sebagai sesuatu yang sangat berbahaya dan negatif.  Akibatnya, kendati pun terdapat upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian konflik sosial yang demikan akut, terutama karena dipicu oleh isu SARA—baik oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga non pemerintah—terkesan artifisial dan formal, sehingga tidak mampu menyentuh akar konflik yang sesungguhnya. Hal tersebut jelas “ibarat api dalam sekam” yang setiap saat bisa meledak dan membakar hangus bangsa ini.
Hari-hari belakangan ini, kita tengah disuguhi serangkaian peristiwa: betapa sulitnya beragama dan berkeyakinan secara bebas di Indonesia. Para penganut agama tertentu, membangun nalar kekerasan yang seolah muncul dari balik kegelapan, dan membenturkan keyakinannya yang eksklusif kepada publik, bahwa ajaran tertentu sesat, pemeluknya boleh disakiti, dibunuh, properti dan rumah peribadatannya boleh dibakar dan dijarah.
 Deskripsi di atas memberi isyarat adanya problem besar dalam kehidupan beragama yang ditandai oleh kehidupan kebinekaan di tanah air. Terutama sekali karena dipicu oleh sebuah konstruksi teologis dalam tatanan non-pluralitas: bahwa hanya agama kitalah yang paling benar, sementara agama lain salah atau menyimpang—“other religions are false paths that mislead their followers” —kata Ajith Fernando. Belum lagi masalah-masalah sosial politik yang sering memunculkan ketegangan dan krisis di kalangan antara pemeluk keagamaan, kian menambah kerunyaman tersebut.
Di balik peristiwa yang mengenaskan itu, pada saat yang sama berkembanglah suatu paham apa yang disebut sebagai “theologia religionum” (teologi agama-agama) atau “teologi lintas-agama” yang menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi dalam konteks agama-agama” khususnya bangsa Indonesia yang bineka.
Sementara itu, Aldous Huxley, salah seorang pemikir perennialis terpenting mengemukakan, “…in the soul something similar to, or even identical with, Divine Reality”  —bahwa  dalam jiwa manusia terdapat “sesuatu” yang identik dengan Kenyataan Ilahi. Dalam mengomentari pandangan Huxley itu, Smith mencoba mengulasnya dengan menghadirkan ilustrasi berikut: 





















Dari ilustrasi di atas tampak adanya apa yang disebut dengan Levels of Reality dan Levels of Selfhood. Karena itu, para penganut philosophia perennis meyakini adanya dunia yang bersifat hirarkis.
Sementara itu, Smith mengatakan bahwa pada ilustrasi di atas digambarkan, realitas itu muncul dalam tatanan yang “terbalik” (tubuh [body] di atas akal [mind], dan seterusnya) adalah wajar,  karena memang mikrokosmos itu mencerminkan makrokosmos (manusia mencerminkan jagad raya), demikian pula sebaliknya. Secara eksternal (manusia) yang baik dilambangkan sebagai sesuatu  yang “tinggi”; namun saat kita melihat secara internal, maka pemahaman nilai kita akan terbalik: dalam diri manusia yang terbaik adalah justru yang paling “terdalam”; ia adalah basis fundamental dan dasar bagi wujud kita. Jalan bagi tubuh (body) dan akal (mind) untuk berkorelasi dengan tataran bumi (terrestrial) dan ”cakrawala” (intermediate) adalah jelas: yang awal mengapung, sebagaimana adanya, pada yang akhir. Para penganut Teisme sama sekali tidak akan mengalami kesulitan untuk mengetahui bahwa jiwa (soul)—lokus final individualitas—terlibat dalam hubungan I-Thou dengan Tuhan yang dapat diketahui. Akan tetapi mungkin mereka akan menolak pernyataan yang menyebutkan--seperti dalam rumusan Huxley—bahwa  “di dalam diri manusia terdapat ‘sesuatu’ yang identik dengan Realitas Ilahi”, yang dalam ilustrasi di atas disebut Spirit (Rûh).

3.    Teologi “Lintas-Iman” dan Doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa
Tampaklah jika dewasa ini kita kian membutuhkan sebuah teologi  yang lebih inklusif-pluralis dan selalu siap menyapa problem empirik manusia. Sebab acapkali tampak dalam sejarah manusia—seperti banyak diulas di awal tulisan ini—lahirnya sejumlah kekerasan dan konflik  yang berimplikasi pada luka sosial dan irisan ruhani cukup dalam justru karena dipicu oleh pemahaman teologis tertentu. Karena itu, untuk mendapatkan suatu pemahaman teologi yang pluralis, sejuk dan menolak seluruh bentuk kekerasan terhadap manusia  ”atas nama” agama, sangatlah penting dimengerti segi-segi konsekuensial dari paham keberagamaan itu. Dalam perspektif religious studies, setidaknya ada tiga sikap keberagamaan yang sangat dominan: eksklusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Paham pluralis hanya bisa dibangun jika seseorang  secara teologis paling tidak inklusif, tapi akan lebih baik jika menganut paham paralelisme. Berikut akan diuraikan secara singkat ketiga bentuk sikap keberagamaan tersebut.
Pertama, eksklusif. Pandangan ini sangat dominan dan dianut oleh sebagian besar pemeluk keyakinan dari zaman ke zaman. Dalam ajaran Kristen misalnya, inti pandangan ini terwakili dalam doktrin: Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).  Dalam perspektif orang yang bersikap eksklusif ayat tersebut sering dibaca secara literer dan tekstual. Pandangan yang hampir sama juga diketemukan misalnya dalam ajaran Islam: “Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah, (hanyalah) Islam”—inna al-dîn ‘ind al-Lâh al-islâm, (Qs.3:19).
Kedua, inklusif. Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan dalam Yesus Kristus. Dalam doktrin Kristen misalnya diyakini bahwa “menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus…” kata Alan Race dari Universitas Kent. Dalam perspektif ini, pandangan keberagamaan seseorang telah bisa “memahami” jika dalam agama lain pun terdapat keselamatan, sepanjang mereka hidup dalam ketulusan Tuhan, melalui Kristus. Tapi pandangan ini dikritik oleh kaum paralelis sebagai membaca “agama lain” dengan “kacamata agama” sendiri. Karena itu, bagi kaum paralelis perspektif ini jelas bias.
Ketiga paralelisme. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen), mempunyai keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif) atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis. Yaitu, setiap agama dan keyakinan memiliki jarak yang sama pada Tuhan sebagai pusat Keberadaan dan Kebenaran. Semua agama, melayani dan mengelilingi-Nya. Di sini kesejajaran atau paralelitas antar pemeluk keagamaan, karena itu, sangat dijunjung tinggi. Meskipun demikian, pluralisme tidaklah bertujuan untuk mencapai “keseragaman bentuk agama.” Sebab, gagasan itu tidak saja absurd tapi juga a-historis. Jadi yang dibutuhkan sesungguhnya adalah keadaan yang “saling menyapa” dan memberi kontribusi positif bagi penyelesaian problema bersama masyarakat-bangsa dari perspektif keimanan masing-masing.
Meskipun ide pluralisme itu sangat kompleks, tetapi sikap paralelisme ini sangat mendukung paham pluralisme, walaupun memang tidak mudah memahami segi ini. Karena itu, tak sedikit ahli menggunakan metafor, seperti metafor pelangi, metafor geometris atau metafor bahasa.
Dengan metafor “pelangi” misalnya, dibangun paradigma bahwa pada dasarnya semua agama itu mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna dasar itu adalah warna putih. Setiap warna muncul dari warna putih lewat “pembelokan,” atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Begitulah misalnya, agama Islam adalah warna hijau, agama Kristen adalah warna biru dan agama Budha adalah warna kuning. Semua warna-warna itu pada dasarnya berasal dari warna putih. Dan warna putih ini sering disebut sebagai warna dari “agama primordial.” Para penganut philosophia perennis, biasanya menyebut sebagai “primordial truth.”
    Sikap paralelisme ini kiranya mengekspresikan adanya fenomena “Satu Tuhan, banyak agama” yang bermakna suatu sikap toleran terhadap adanya “jalan lain” kepada Tuhan (ingat konsep al-subul al-salâm dalam tradisi Islam). Karena itu, yang terpenting dari agama bukanlah bentuk atau kerangkanya (eksoteris) tapi substansi dan nilai transendensinya (esoteris). Para penganut philosophia perennis berkeyakinan, dalam jantung setiap agama dan tradisi yang autentik memiliki “pesan kebenaran” yang sama yang disebutnya the heart of religions. Karena itu, setiap agama dan keyakinan autentik memiliki jarak yang sama ke pusat Kesadaran dan Kebenaran yaitu Tuhan. Dengan sikap keberagamaan seperti itu diharapkan mampu melahirkan pemikiran-keagamaan yang lebih pluralis dan sejuk: satu sikap teologis yang memang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita yang kerapkali terancam konflik horizontal karena “dipicu” oleh sebuah paham keagamaan yang belum terdewasakan.
 Sementara itu, meningginya intoleransi berbasis agama akhir-akhir ini disinyalir akibat maraknya praktik penyebaran kebencian di tengah masyarakat terhadap kelompok keagamaan tertentu yang berujung pada kekerasan. Ditambah lagi intimidasi dan tindak kekerasan tersebut tidak diiringi dengan proses sungguh-sungguh penegakan hukum bagi para pelakunya. Bagaimana semestinya kita membaca paras buram kebangsaan kita ini?
Dalam pendakuan A.E. Priyono,  setidaknya ada tiga argumen yang coba menjelaskan gejala tersebut. Pertama, “netralitas dan imparsialitas negara”. Jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sejatinya merupakan kelanjutan logis dan pengakuan ontologis atas fakta kepelbagaian sosial dan kultural, termasuk pluralitas agama, yang telah hidup dan tumbuh ratusan tahun di Indonesia. NKRI didirikan di atas prinsip kepelbagaian atau kebinekaan seperti itu, dan mengandaikan negara bersikap netral dan imparsial ketika perselisihan internal di antara mereka, atau pun pertikaian lintas agama.
Kedua, “keniscayaan toleransi dalam masyarakat aneka”. Keyakinan keagamaan yang bersifat personal-individual, mesti dijamin oleh lembaga-lembaga demokratik demi sebuah kehidupan sosial politik yang stabil. Toleransi, karena itu, diandaikan sebagai norma dalam pergaulan lintas agama dan keyakinan, di atas mana negara meneguhkan perannya melindungi kebebasan masing-masing pemeluk agama, baik di tingkat individual atau pun komunal. Dengan kata lain, toleransi agama dan kehidupan harmoni dalam kepelbagaian lebih merupakan “mandat konstitusional” yang mesti dijaga oleh negara.
Ketiga, “obyektifikasi agama melalui deliberasi”. Konstruksi keyakinan keagamaan, tidak dengan serta merta sebagai basis untuk membuat atau melegitimasi keputusan-keputusan publik, kecuali jika ia diterjemahkan terlebih dulu ke dalam nalar politik kebangsaan. Prinsip ini, mengingatkan kita pada pendakuan Kuntowijoyo tentang “obyektifikasi agama” yang mengandaikan agar norma-norma dan nilai-nilai subyektif agama yang bersifat partikular harus ditransformasikan menjadi semacam etika sosial yang bersifat universal, agar akseptabilitasnya berlaku umum dan bisa diterima semua orang melalui deliberasi publik.
Menyadari wajah kelam kebangsaan kita yang kian hari mengalami gejala dehumanisasi, ada baiknya kita mengkaji ulang ide kepelbagaian, atau apa yang sejauh ini dikenal secara pejoratif sebagai SARA. Sudah saatnya kini, SARA tidak lagi dituding sebagai “kambing hitam” yang bertanggungjawab di balik seluruh bentuk kerusuhan dan benturan horizontal lintas etnik dan agama, tapi sebaliknya diletakkan sebagai anugerah Tuhan dan “ibu kandung” NKRI. SARA, sebab itu, tidak lagi dipandang sebagai hantu menakutkan dan super sensitif, tapi mesti dipercakapkan bersama secara terbuka dan penuh suasana kekeluargaan di atas meja keindonesiaan dan dalam spirit pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Sudah saatnya kita memberi tafsir-ulang terhadap SARA, sebagai sebuah konsep kepelbagaian—yang sejauh ini lebih merupakan “alat politik” rezim penguasa dan nalar dominan negara—ke dalam satu makna yang lebih mencerahkan, inklusif dan komprehensif: SARA adalah ”Ibu Kandung” NKRI. Mengabaikan, apalagi “mengkambing hitamkan” SARA, kita akan terancam  menjadi bangsa “Malin Kundang”.

4.    Spirit Ketuhanan yang Bekebudayaan: Theologia Negativa
Merespons gagasan ”berteologi dalam lintas-iman,” belakangan peminat Religious Studies mengembangkan apa yang dikenal sebagai theologia negativa. Seperti dipahami, theology, adalah ilmu yang berhasrat merengkuh Tuhan. Tapi mungkinkah? Setidaknya Tuhan mewartakan Diri-Nya melalui kalam yang dipilih-Nya: bermula dari senyap ke bunyi, bunyi ke aksara, aksara yang menyusur pada sebilah arus sungai sejarah literasi yang dingin, lalu menubuh pada Kitab. Sebab itu, Rudolf Otto dalam karyanya, Das Hellige menyebut-Nya sebagai Mysterium, Tremendum et Fascinosum: Kegaiban yang menautkan antara getir dahsyat dan rindu yang menyengat. 
St. Thomas Aquinas dalam gagasan [[mistiknya mendaku: Quasi ignotus cognoscitur—"Tuhan dikenal sebagai Dia yang tak dikenal.” Kelak inilah yang menjadi landasan theologia negativa. Jika teologi mainstream sejauh ini mengakui Tuhan dengan menampilkan sisi positifnya atau via affirmativa—baik melalui nama-nama, sifat, atau pun cipta-Nya—maka teologi ini mengakui Tuhan dari sisi negatif atau via negativa. “Teologi negatif” memang wacana  yang sedikit ganjil dalam studi agama. Denys Turner, dalam The Darkness of God (1995) lebih memilih untuk tidak mendefinisikannya, dan mengisyaratkan satu hal: not-saying, “tidak berkata apa-apa tentang Tuhan.” 
Dalam tradisi Kristiani—penulis Mystical Theology—Dionisius Aeropagit, disebut-sebut sebagai tokoh terpenting yang mengonstruk teologi negatif. Kontribusi teoretis Dionisius terletak pertama-tama pada distingsi yang dibuatnya antara dua bentuk teologi: teologi apofatik dan teologi katapatik. Teologi apofatik mengandaikan cara berteologi yang mendekati Tuhan, berangkat dari kesadaran tentang ketidaktahuan kita tentang-Nya. Itu sebab, teologi ini mendekati Tuhan via negativa, dengan cara dan bentuk pengungkapan yang negatif. Sementara, teologi katapatik adalah cara berteologi mendekati Tuhan dengan ungkapan yang ekspresif tentang Tuhan contohnya, “Yang Maha Agung” atau “Yang Maha Bijaksana”; ungkapan-ungkapan yang ingin melukiskan kemuliaan Tuhan secara hiperbolik dan ekspresif.
Dionisius mengandaikan, pengalaman bersama “yang Ilahi” adalah pengalaman tak terlukiskan dan tak tunai dalam kalam: Tuhan adalah mysterion, misteri yang terlampau sulit untuk dijelaskan. Dia adalah Deus Absconditus, “Dia Yang Tersembunyi”. Karena itu, untuk mendekatinya, seseorang harus melepaskan segala pengetahuan yang mungkin tentang-Nya.
Bagi Dionisius, setiap uangkapan yang kita pilih tentang Tuhan akan menyisakan paradoks pada intinya. Maka iapun menyebut kondisi itu sebagai, the brilliant darkness of a hidden silence: “cemerlang kelamnya kesenyapan yang tersembunyi”. Memasuki perjumpaan dengan “yang Ilahi” berarti memasuki “kekelaman yang cemerlang”. Karena paradoks itu, maka Dionisius menasihatkan seseorang untuk menegasikan apa pun tentang Tuhan dan menggunakan negasi dalam mengungkapNya.
Tapi eloknya, bagi Dionisius, negasi itu sendiri tidaklah memadai dan mesti dilampaui. Tuhan, bagi Dionisius, dapat disebut sebagai “Kegelapan dan Cahaya”, namun “Ia bukan kedua-duanya”. Dengan begitu, bukan hanya ungkapan positif tentang Tuhan yang harus dinegasikan, tetapi bahkan negasipun juga harus dinegasikan. Karena itu secara diksi dapat dikatakan, jika ungkapan positif “Tuhan adalah...” dinegasikan menjadi “Tuhan bukan...”, maka menurut pendakuan Dionisius, “Tuhan bukan adalah...” sekaligus “Tuhan bukan bukanlah...”. Di sini tampak jelas jika pemikiran Dionisius ini memberi landasan penting bagi teologi negatif sekaligus kritik atas teologi negatif.
Tokoh teologi negatif lain yang menonjol adalah seorang penulis anonim buku terkenal dari abad ke-14 M, The Cloud of Unknowing (“Awan Ketidaktahuan”), metafor yang digunakan Alkitab dalam melukiskan “perjumpaan” Musa dengan Tuhan. Dalam kondisi ini, seseorang tidak akan pernah dapat mencapai Tuhan dengan pengetahuan yang diperolehnya. Mengulang kembali semangat Dionisius, Tuhan, bagi penulis The Cloud of Unknowing  adalah mysterion. Untuk itu, penulis buku ini menganjurkan satu tahapan penting sebelum seorang masuk pada state of unknowing (“kondisi tidak mengetahui”) adalah state of forgetting (“kondisi melupakan”), yakni melupakan segala gambaran, konsep, dan imajinasi tentang Tuhan yang sejauh ini ia terima dan pikirkan.
Melewati dua kondisi tersebut—yang keduanya merupakan “kondisi pengingkaran”, state of denial—seseorang, kata sang penulis The Cloud of Unknowing, akan sampai pada “cinta”, suatu tahap yang menurutnya merupakan fase tak tercakapkan dalam pendakian ketuhanan. Cinta, di sini, adalah suatu negativitas sublim (sublime negativity) di mana Tuhan telah terbebas dari apa pun yang diimajinasikan dan anggitan yang dikonstruk manusia tentang-Nya. Mungkin itu sebab, Al-Quran dalam tradisi Islam, misalnya menyebut Tuhan dalam nafas negasi yang mutlak: Lam yakun lahu kufuwan ahad (“Tak satu apapun yang setara Dia”—Qs.112:4) atau laysa kamistlihi syai’ (“Tak satu apapun yang dapat dimisalkan Dia”).
Tuhan via negativa, karena itu, mengandaikan  Dia yang tak terjangkau, tak terkonsepkan, tak terimajinasikan, tak tercakapkan: sebuah kesunyian mutlak yang maha senyap, tapi juga Maha Lain Penuh Cinta. Jangan-jangan, Tuhan via negativa adalah misterium yang dialami kaum mistikus: episentrum yang menyedot setiap rindu yang membuncah untuk “tercelup secara ontologis” dengan-Nya, di setiap napas waktu. Itu sebab, jalan menemui-Nya, membentang sebanyak detak jantung para perindu-Nya.
Karena Tuhan adalah Misteri Agung yang tak terselami, Dia tak dapat didekati hanya dengan sikap ephoria, sejenis kesadaran-dangkal yang terbit dari lingkar luar keberadaan manusia. Dia hanya bisa didekati dari ruang autentik sebelah-dalam (inner space) manusia. Itulah Pati Devina: Tuhan, yang bisa saya rasakan dan mengalami ketercelupan ontologis dengan-Nya, karena saya berani menderita dikerkah api-kerinduan dalam menemu-kenali akan-Nya. Justru dengan Pati Devina,  di mana manusia memuji, mengagungkan dan mengabdi kepada Tuhan dengan segenap pergulatan bahkan penderitaannya, maka terjadilah cinta sublim tak tepermanai.
Tujuan kudus dan tugas hidup manusia adalah memuji, mengagungkan, dan mengabdi kepada Tuhan. Ketiganya hanya bisa terjadi  dalam tindakan dan dalam “pengalaman langsung” diri manusia sendiri. Manusia adalah ciptaan, yang selalu mengarah kepada Kenyataan Yang Absolut, dan dengan demikian selalu mengatasi apa saja yang terbatas, profan dan tidak autentik pada dirinya. Keberadaannya yang terarah pada Yang Maha Tak Terbatas itu mengimplikasikan bahwa ia mesti mentransendensikan apa yang terbatas, dan membuat ia tak tergantung pada yang terbatas itu. Sikap membebaskan diri dari hal-hal yang terbatas, profan dan tidak autentik itulah yang dalam tradisi religious studies disebut sebagai indifferens.
Di titik ini, indifferentia adalah sesuatu yang kodrati dan adikodrati sekaligus. Kodrati, karena itu melekat pada dirinya sebagai manusia. Adikodrati, karena itu diletakkan sebagai anugerah Tuhan bagi dirinya, dan karena itu bersifat yang Ilahi. Jadi, indifferentia adalah anugerah adikodrati bagi manusia, justru karena ia secara kodrati diciptakan untuk mengarah terus-menerus pada Yang Maha Tak Terbatas. Itu sebab, kelepasbebasan itu adalah hakikat dari keberadaannya sendiri. Pertanyaannya: apakah manusia mau mengidentifikasikan “diri”nya dengan hakikat diri atau ego autentiknya itu. Dengan lain perkataan, jika ia tidak mau bertindak dengan indifferens, maka ia dengan sendirinya melawan dan merusak ego autentiknya, hakikat keberadaannya sendiri.
Manusia, sebab itu, diandaikan agar dirinya mengalami transendensi terus menerus dan tak berhenti pada wilayah profan, terbatas, dan tidak autentik. Justru di sinilah letak kesulitannya. Karena manusia ternyata lebih suka berhenti pada yang terbatas, profan dan “bumi” untuk kemudian merengkuhnya dan bahkan mempertuhankannya. Dia enggan pergi meninggalkan zona nyaman. Dia tidak mau mengorbankan apa yang akan berlalu, betapa pun sepelenya hal itu. Dengan kata lain, walau adalah hakikat manusia, indifferens tidak terjadi dengan sendirinya.
Tujuan kudus penciptaan manusia tidak hanya untuk dikenang secara primordial, tetapi harus dicari dan diperjuangkan terus menerus. Indifferens melalui Pati Devina, mengajak manusia untuk selalu menjatuhkan pilihan, jalan mana yang terbaik dalam membimbingnya ke arah tujuan ia diciptakan. Tuhan  adalah tujuan hidup yang disaput misteri tak terselami. Karena itu, untuk menemui-Nya, tidak ada jalan yang sekali jadi, enteng, dan pasti untuk selamanya!
Karena itu, Tuhan dalam pendakuan theologia negativa, bukan pengertian yang persis tetapi sesuatu yang jauh dan misterium. Sesuatu Yang Maha Lain, yang hadir justru di balik selubung. Itu sebab, dengan menerima semesta lambang dan jagat kode tentang-Nya, kita tahu, bahwa pada asalnya bukanlah Kalam autentik, melainkan tafsir.
Manusia dikerkah kecemasan, jika Yang Abadi, juga jejak-jejak-Nya, tak hadir di antara kita: masa silam akan terasa pandir dan masa depan pun kosong. Tetapi kekeliruan telanjur dirumuskan manusia bahwa jika Yang Abadi mustahil menyentuh yang fana, maka ia sebenarnya “tak-ada.”
“Ketak-ada-an” Tuhan atau “atheis” dalam ruang sadar-diri seperti ini, persis pekikan Sartre saat mengerang, ”Tuhan telah lepas dan meninggalkan sebentuk lubang pada diriku”. Di sini Sartre mengandaikan Tuhan yang tak lagi relevan dan menguap dalam napas kehidupan manusia kontemporer. Sebilah pengalaman akan Tuhan yang jauh dan tak terjangkau. Tetapi bahwa sejenis “ateisme-mistik” itu, ternyata bisa merengkuh hidup kita. Tuhan dipercayai dan diakui, tapi Tuhan tidak dirasa dan dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia, sebab itu, hanya bisa mempercakapkan Tuhan melalui jejak Kalam-Nya, merumuskan-Nya dalam pengertian dan mengeja nama-nama-Nya yang indah (al-asmâ’ al-husnâ) dalam sebutan. Namun kata-kata, sebutan, dan pengertian tentang-Nya adalah selubung dan sekunder. Yang primer adalah pengalaman autentik akan-Nya, kendati dalam pengalaman ini Dia tak dapat dimengerti secara persis, bahkan seakan tak dapat dirasa bahwa Dia ada dalam “pengalaman” itu. Inilah yang diandaikan pentolan theologia negativa, Dionisius sebagai pengalaman Ilahi dan tak tercakapkan: Deus Absconditus—“Dia  Yang Tersembunyi”. Dionisius melukiskan kondisi itu dengan, “cemerlang gelapnya kesenyapan yang tersembunyi” (the brilliant darkness of a hidden).
Konstruksi Ketuhanan Yang Maha Esa yang berciri “Theologia Negativa” juga dijumpai dalam tradisi Budhisme. Dalam Budhisme, Tuhan adalah tak bersosok (Impersonal), Yang Maha Esa yakni satu-satunya Tuhan Akhir, Terbebas Berkondisi, dan karena itu Nibbana.  Tampak jelas “perbedaan” konstruksi Ketuhanan Yang Maha Esa yang tumbuh dari tradisi agama-agama Semitik atau lazim dikenal sebagai “Abrahamic Religions” dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang lahir dari rahim tradisi Budhisme.
Di sini, Tuhan terasa hadir tanpa nama dan tak tepermanai, serta selalu tak tertangkap dengan pengertian persis tentang-Nya yang telah kita punyai. Betapa pun sulitnya, manusia mesti belajar mengenal Tuhan yang demikian itu. Dengan begitu, ia mengalami religiusitas yang asali dan autentik. Di sini manusia tengah meraba batas yang berdekatan dengan Yang Abadi, walau tentang-Nya, ia seakan bisu dan semua kata menjadi runtuh untuk mempercakapkan-Nya.
Demikianlah, Tuhan dalam ontologi pengalaman mistik adalah Tuhan yang tak bisa dinamai. Apa pun nama, kode, metafora, atau lambang untuk-Nya segera akan dihalau oleh Dia sendiri yang tak dapat disebut dalam nama. Dan apa pun pengertian tentang-Nya segera akan dikaburkan oleh Dia sendiri, yang tinggal sebagai misterium, yang “dialami” namun tak tunai dalam kalam.Pertanyaan yang terbit kemudian: Bilakah Tuhan, Yang Numinous, yang mysterium tremendum fascinosum dan Yang Mutlak disaput gerhana? Martin Buber, filsuf Jerman dan penulis buku terkenal Ich und Du mendaku, “Ketika ketuhanan bukannya ditampik, melainkan terlindung dari pengamatan zaman.”  Dalam perspektif historis, ketegangan antara “iman” personal dan “agama” komunal memang merupakan kegelapan zaman. Di titik ini, Buber mengandaikan situasi itu sebagai “gerhana Tuhan”.
Gerhana Tuhan, juga pernah dihentakkan tiga pemuka pemikir Nietzsche, Marx, dan Freud. Nietzsche dikenal sebagai “pembunuh Tuhan” dan dalam pandangan religiusitas dia diposisikan sebagai penista agama, jika bukannya penghujat Tuhan. Dalam  sejarah filsafat, ateisme Nietzsche yang keras karena itu, tidak lagi diletakkan sebatas “permainan bahasa” (language game) yang menyangkal Tuhan, melainkan menyelinap ke dalam napas kehidupannya. Nietzsche dengan tegas mewartakan—seakan  tampil sebagai “nabi baru”—bahwa  zaman baru telah tiba: zaman tanpa Tuhan, niragama, dan ketiadaan yang transenden.
Pesan “ateisme” juga dijumpai dalam benih pikir Marx dan Freud. Bagi Marx, kepercayaan kepada Tuhan adalah akibat kebutuhan dasar manusia-miskin dan lapar, alias masalah ekonomi. Frustrasi dan kegaduhan yang lahir dari suasana miskin dan lapar ditekuk dengan agama. Dalam pendakuan Marx, angan-angan seperti itu bukannya mengubah keadaan, melainkan hanya memberi hiburan palsu laksana “candu”.
Senada dengan Marx, Freud mengandaikan agama sebagai keadaan psikologis-tidak sehat, neurosis: jiwa yang menggelepar karena didorong oleh hasrat tak kunjung kesampaian akibat pelbagai larangan dan restriksi dalam kehidupan. Bagi Freud, agama lebih merupakan sublimasi yang tampak dari tekanan yang tak mampu dihadapi. Filsuf Paul Ricouer, sebab itu, menyebut Nietzsche, Marx, dan Freud sebagai “guru-guru pencuriga” (maitres de soupcon).
Tampaknya kehidupan beragama pada era modern mengalami krisis-akut yang berujung pada dua paras. Pertama, mengantarkan pada “ateisme” dan agnostik di mana orang-orang terutama generasi muda milineal meninggalkan kehidupan agama tradisional dan menihilkan keberadaan Tuhan. Kedua, mengantarkan kepada “ateisme praktis,” di mana orang-orang meski mengaku masih beragama tetapi tidak “menghadirkan” Tuhan dalam detak jantung hidupnya sehingga acapkali dengan alasan agama, mereka justru melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan anti-kemanusiaan, sebagaimana tampak pada fenomena terorisme dan kekerasan atas nama agama. Keduanya, jelas melongsorkan esensi agama.
Bagaimana mesti kita menghalau “gerhana Tuhan”? Tampaknya kita perlu merekonstruksi autentisitas makna-terdalam hidup beragama. Ada kebutuhan mendasar untuk menautkan antara penghayatan pesan teks-agama dan artikulasi teologis-fenomenologis. Atau seperti diungkap Levinas, “hendaknya mendahulukan pembacaan teologis-fenomenologis atas narasi-narasi Kitab Suci, ketimbang menganyam tafsir historis-semiotik teks”.
Dari uraian panjang menyusul dialektika sejumlah pemikiran yang dikemukakan sebelumnya, tampaklah bahwa istilah “ketuhanan” yang diandaikan pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan istilah yang paling tepat dan dapat mewakili masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragama agama dan kepercayaan. Meski istilah ini demikian “abstrak” namun dapat diterima oleh semua penganut agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Sila pertama Pancasila ini tidak berbicara mengenai satu tuhan tertentu yang dipercayai satu agama, melainkan berbicara mengenai doktrin “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada dalam jantung setiap agama dan tradisi kepercayaan lokal di Indonesia. Setiap agama dan kepercayaan di Indonesia meyakini adanya sesuatu yang transenden, yang numinous, yang Ilahi, meskipun dengan konstruksi yang berbeda-beda.
Istilah ketuhanan ini merupakan anggitan yang dapat menyatukan dan diterima oleh penganut agama dan kepercayaan di Indonesia baik yang berciri theologia positiva atau afirmativa maupun theologia negative. Karena itu, memahami ide Ketuhanan Yang Maha Esa dalam realitas masyarakat serba majemuk ini tidak dapat dipisahkan dari pengakuan dan kesadaran atas realitas Tuhan yang dihidupi oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali, meski tak mengabaikan sejarah “konflik” antaragama yang yang terjadi di tanah air. Realitas serba majemuk ini tidak dapat ditampik, melainkan bisa dirayakan dengan penuh kegembiraan menyusul dialog sebagai ruang perjumpaan antar-pemeluk agama dan kepercayaan, yang sangat mendesak: mendialogkan pengalaman iman masing-masing warga negara untuk kemudian dikontribusikan bagi pembangunan bangsa yang berkemajuan, damai dan sejahtera.
Dalam pengandaian yang lebih epistemik, menarik menautkan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa dengan ide tentang “Ketuhanan yang Berkebudayaan”—seperti diungkapkan Soekarno pada pidato 1 Juni 1945. Menurut pendakuan sejumlah ilmuwan, ide “Ketuhanan yang Berkebudayaan” tidak saja dipandang “menggemparkan” tetapi juga tidak lazim. Sebut saja umpamanya perspektif Daniel Dhakidae yang  mengajukan argumen berikut. Pertama, Ketuhanan yang berkeadaban dan berkebudayaan, suatu istilah “aneh” karena menggabungkan dua hal yang tidak bisa digabungkan, yaitu “ketuhanan” dan “keadaban”/“kebudayaan”. Kedua, Ketuhanan ditempatkan pada sila terakhir, yang dalam pandangan umum kalau mengatakan sesuatu dalam urutan dan berhubungan dengan Tuhan, maka harus mendapat kedudukan pertama dan bukan terakhir. Karena itu, apa yang dikemukakan Soekarno menjadi sacrilegious, blasphemous bagi siapa pun yang beriman.
Kegemparan itu, menurut Dhakidae, terjadi semata-mata karena salah pengertian sejak pidato itu diucapkan sampai hari ini. Kesalahpahaman bersumber pada satu hal, yaitu orang keliru melihat pidato itu yang dianggap sebagai “dokumen keagamaan”. Dari seluruh rencana kerjanya, Dokuritsu Junbi Chôsa-kai menyiapkan dasar-dasar negara merdeka dan karena itu tujuannya adalah meyiapkan suatu dokumen kenegaraan. Bila diperhatikan dengan cermat, pidato itu bukan dimaksudkan sebagai sebuah dokumen keagamaan, tetapi “dokumen kenegaraan” untuk suatu negara merdeka yang belum ada.
Setidaknya, ada tiga unsur dalam sila Ketuhanan Pancasila 1 Juni 1945 yang bisa menjadi pertimbangan. Pertama, “Tuhannya sendiri”, one’s own God. Kalau bangsa ini memiliki ratusan kelompok etnik, maka bisa diduga ada juga ratusan tuhan. Kedua, keleluasaan, dalam penertian memberikan kebebasan bertindak, tidak mengekang, dan tidak menghalangi siapa pun yang menjadi warga negara baru nanti dalam mengungkapkan rasa ketuhanannya masing-masing; untuk menghormati unsur pertama maka kebebasan bertindak menjadi tuntutan etis utama. Ketiga, baru berkebudayaan. Dalam semua ini, Soekarno menawarkan sebuah konsep yang berbeda ketika dia menyebut “ketuhanan yang berperikemanusiaan” dan dengan itu yang sebenarnya ditawarkan di sana adalah sebuah konsep ontologis lain, yaitu “ketuhanan” sebagai tesis dengan “kemanusiaan” sebagai antitesis. Konsekuensinya, tidak ada “ketuhanan” seperti itu tanpa adanya “kemanusiaan”.
Sekaitan dengan itu, menarik melihat kembali apa yang diungkapkan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945:

“Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia… “De Mensch”—manusia!—harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit!”…Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu; zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit”

Yang hendak diungkapkan di sini adalah bahwa menakar dasar ontologis sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan atas dasar agama, tetapi kemanusiaan, Menschlichkeit atau human-ness; “…meyakini bahwa keberadaan manusia adalah ada-yang-terbatas dan karena itu memerlukan Yang Tak-Ada-Batas (infinitum) dan bukan berpijak pada keyakinan, belief, belief system.
Soekarno dalam konteks ini menambahkan sesuatu yang mengejutkan, yaitu selain kemanusiaan harus ada yang lain yang  menjadi dasar ontologis itu, dan hal ini bisa dicari dalam pidato 1 Juni. Itu terjadi ketika Soekarno mengatakan bahwa “…[p]erdjoangan” adalah menschlich, dan dalam menschlichtkeit dari “perdjoangan” itulah terletak keberhasilan dari Göttlichkeit dari sila pertama”, yang oleh Soekarno dengan penuh kesengajaan ditempatkan sebagai sila terakhir.
Mengapa ditempatkan pada sila terkhir, menarik mengutip pendakuan Dhakidae. Pertama, dengan cara berpikir dialektik seperti Soekarno, ketuhanan tidak bisa dipahami tanpa adanya kemanusiaan, malah tanpa kemanusiaan itu ketuhanan pun sirna. “Perjoangan” adalah tali penghubung ketuhanan dan kemanusiaan, dan “perjoangan” tidak lain dari kerja, Arbeit, arbeiten, work, yang menjadi dasar dari seluruh paham humanism.
Tanpa kerja tidak ada kebudayaan, tidak ada masyarakat, dan tidak ada ketuhanan. Hanya dalam pengetian itu bisa dipahami mengapa berulang kali Soekarno menekankan “ketuhanan yang berperikemanusiaan” atau “ketuhanan yang berkebudayaan” karena alasannya sangat sederhana: “Tuhan tidak berkebudayaan”. Hanya dalam pengertian itu, “gotong royong” harus diartikan, karena gotong royong tidak lain dari kerja, Arbeit, work.
Kedua, “ketuhanan” di sini harus dipahami dalam konteks kenegaraan, bukan konteks “keagamaan” atau “kepercayaan”/“keyakinan” meski Soekarno pun menghubungkannya dengan agama, yang tentu saja menjadi bagian dari kebudayaan. Dengan demikian anggitan “ketuhanan” berada di atas agama-agama. Di titik ini, sebagaimana diandaikan Mohammad Hatta (1926-1977) bahwa sila pertama Pancasila menjadi “fundamen moral” bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, bisa dipahami bila kemanusiaan diangkat di sampingnya: Setiap ikhtiar manusia dalam arus sejarah yang mencoba “merumuskan” Tuhan Yang Maha Tak Tepermanai, selalu berujung pada Quasi ignotus cognoscitur— “Tuhan dikenal sebagai Dia yang tak dikenal”, “Dia Yang Terselubung” (Deus Absconditus) dan Misteri Yang Tak Terselami. Di titik inilah, relevansi dan signifikansi ide genial pendiri bangsa, khususnya Soekarno ketika merumuskan “Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dan Ketuhanan yang saling menghormati satu sama lainnya”, yang mengandaikan bahwa ide dan doktrin Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu yang absolutely relative atau “absolut di dalam kerelatifannya”—dan karena itu hanya bisa dihidupi oleh kemanusiaan yang mengonstruknya—kian kompatibel di masa kini dan di masa depan yang jauh.


B.    Kontekstualisasi Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Di hadapan kader-kader Pancasila pada 5 Juli 1958, Soekarno memberi “Kursus Pancasila” dan mengurai secara mendalam “Perikemanusiaan dalam Pancasila”. Pada kesempatan itu Soekarno menandaskan, “menschlichtkeit, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia.”
Dalam tradisi philosophia perennis—sebagai sebuah kearifan purba—mengandaikan  manusia primordial sebagai the pontifex atau “jembatan” antara dunia-langit dan dunia-bumi. Karena itu, dalam perspektif filsafat ini, manusia hidup dalam dua dunia: “asal” dan “pusat” sekaligus. Sepanjang hayatnya, manusia primordial  hidup dalam siklis dan terus berusaha untuk mencapai pusat kesadaran dirinya. Di sini, manusia pontifex hidup dalam sebuah kesadaran infinitum (realitas tak terhingga) yang menjadikan dirinya melampaui wilayah “dunia.” Dengan kata lain, philosophia perennis meletakkan manusia sebagai rûh atau spirit yang “meraga” dalam tubuh.
Kaum perennialis belakangan, kian gencar menggali dan mengenalkan kembali konsep manusia-primordial sebagai solusi alternatif bagi krisis manusia modern. Sebab, salah satu krisis paling serius yang dihadapi manusia modern, mereka telah kehilangan makna dan tujuan hidup sejati. “Manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya sendiri,” tulis seorang arif, “Karena ia gagal menemukan dirinya yang autentik.” Meski demikian, tidak dengan sendirinya berarti manusia modern telah kehilangan horizon diri, tapi lebih karena manusia modern dalam perspektif perennial, “telah terpental ke garis terluar lingkar eksistensinya.” Manusia modern melihat segala sesuatu “hanya” dari sudut pandang pinggiran eksistensinya itu dan bukannya berpijak pada pusat spiritualitas dirinya.
Perspektif modernitas cenderung mengandaikan manusia sebagai “ciptaan dunia-bumi ini” (a creature of this world). Karena itu, ia betah tinggal di bumi dengan pandangan artifisial yang dibangunnya sendiri, yang mempesona, dan berujung pada: tertampiknya Tuhan dan realitas spiritual dalam ruang-sadar mereka. Agaknya logiko-positivisme, sebagai tonggak peradaban modern, telah berhasil meneguhkan manusia sebagai sekadar manusia-bumi dan merobek selubung langit suci. Awal dan akhir peradaban modern adalah materi: enggan mempercakapkan dunia makna, ontologi, metafisika, dan spiritual yang senyatanya justru dituding sebagai wadah pelarian manusia-manusia kalah. 
Tapi, belakangan, manusia modern pun dikepung aneka kecemasan. Mereka  rindu pada “Yang Kudus” dan merengkuhnya dalam 1001 cara guna menghalau kegundahannya itu: membaca novel-novel psikologis, X-Files, hingga praktik pseudo mistik. Fenomena itu, dipandang para peminat studi agama dan filsafat sebagai New Age yang mencirikan pesatnya perhatian manusia modern terhadap dunia keruhanian.
Sejatinya, keterpanggilan manusia untuk selalu menyucikan ruhaninya pada urutannya melahirkan naluri kuat gerak “kembali ke Asal”. Dalam Knowledge and Sacred, Seyyed Hossein Nasr mendaku: Keterpanggilan bergegas “kembali ke Asal” tidak semata dialami manusia tapi seluruh kosmik. Naluri kosmik untuk “kembali ke Asal” menuju Tuhannya menyebabkan terjadinya gerak siklis laksana tawaf. Seluruh kosmik bergerak siklis: bulan mengelilingi bumi, bumi mengitari matahari, matahari beredar mengitari galaksi, galaksi mengitari sehimpunan galaksi yang lebih besar, dan seterusnya.  Gerak siklis “memusat-melingkar” dan “berbenturan arah jarum jam” itu, akhirnya tiba pada pusat “Kesadaran Eksistensi” yang dalam teologi disebut sebagai Tuhan. Di sini, pesan sublim tradisi Islam: Innâ Lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn, “Sungguh kita semua berasal dari Allah, dan hanya kepadaNya kita “kembali,” kian menemukan pijakannya.
Pendakuan di atas menyiratkan adanya hirarki pada kosmik (the levels of reality) dan manusia (the levels of selfhood) yang secara ontologis saling berelasi dan bersama-sama bergerak “kembali ke Asal”. Dari perspektif ini kemudian lahir doktrin “persaudaraan kosmik” antara semesta (macrocosmic) dan manusia (microcosmic) yang pada urutannya melahirkan “senyawa” kimiawi ontologis di antara keduanya: bumi (terrestrial) bersenyawa dengan tubuh (body); cakrawala (intermediate) dengan pikiran (mind); langit (celestial) dengan jiwa (soul), dan “Yang-Tak-Tepermanai” (infinitum) bersenyawa dengan ruh (spirit) manusia. Manusia-ruh atau spirit, sebab itu, adalah diri-autentik yang tercelup secara ontologis dalam Lautan Maha CahayaNya: segenap laku, pikir, dan tuturnya memantulkan kesejatian, kecerahan, kedamaian, dan keselamatan, karena seluruh eksistensinya adalah “pantulan” Allah. Dengan kata lain: manusia-ruh adalah “citra Ilahi” (imago dei) di bumi. Dialah manusia pontifex itu, manusia yang setia mengikatkan jantungnya “ke langit” sembari mengusung kesadaran kukuh: bahwa ia niscaya “kembali” karena di ujung kakinya, “di bumi,”  menanti sejumput amanah yang mesti ditunaikan.
        Sekaitan dengan itu, menarik menelaah lebih lanjut ungkapan Aldous Huxley yang memosisikan philosophia perennis sebagai “psikologi yang memperlihatkan adanya suatu dalam jiwa manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi” (the psychology that finds in the soul something similar to, or even indentical with, Divine Reality). 
        Dalam mengomentari pandangan Huxley itu, Smith —seperti diungkapkan pada pembahasan sebelumnya—mencoba mengulasnya dengan menyodorkan doktrin “realitas bertingkat” (levels of reality dan levels of selfhood) dan pada urutannya melahirkan doktrin “persaudaraan kosmik” manusia-alam. Dari doktrin levels of reality dapat terlihat bahwa psikologi perennial mencoba memadukan keseluruhan realitas dengan apa yang ada pada diri manusia. Karena itu, penganut filsafat ini meyakini adanya dunia yang bersifat hirarkis. Huston Smith misalnya, dalam bukunya The Forgotten Truth menyebut tingkatan-tingkatan ini sebagai the great chain of being (matarantai agung seluruh keberadaan) sebagaimana telah disinggung di depan.
        Lebih lanjut Smith mengandaikan bahwa pada doktrin “realitas bertingkat” di atas, realitas itu muncul dalam tatanan yang terbalik (tubuh di atas akal, dan seterusnya) adalah wajar, karena memang mikrosmos itu mencerminkan makrokosmos (manusia mencerminkan jagad raya), demikian pula sebaliknya. Secara eksternal (manusia) yang baik dilambangkan sebagai sesuatau yang tinggi; namun saat kita melihat secara internal, maka pemahaman nilai kita akan tampak terbalik: dalam diri manusia yang terbaik adalah justru yang paling dalam: ia adalah basis fundamental dan dasar bagi wujud kita. Jalan  bagi tubuh (body) dan akal (mind) untuk berkolerasi dengan tataran duniawi (terrestrial) dan pengantara (intermediate) adalah jelas, yang awal mengapung, sebagaimana adanya, pada yang akhir. Para penganut teisme sama sekali tidak menemui kesulitan untuk mengetahui bahwa jiwa (soul)—lokus final individualitas—terlibat dalam hubungan I-Thou dengan Tuhan yang dapat diketahui, mungkin mereka akan menolak pernyataan yang menyebutkan (seperti dalam rumusan Huxley) bahwa “di dalam diri manusia terdapat sesuatu yang identik dengan realita Ilahi—dalam ilustrasi tersebut, sesuatu itu dinamakan Rûh (spirit).
Bagi Smith, dalam diri manusia terdapat dualitas: “aku-objek” (me) yang bersifat terbatas, dan “aku subjek” (I) yang terbebas dari keterbatasan tersebut. Para mistikus lebih memilih “aku–subjek” yang tak terhingga. Tanpa sadar tenggelam di pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, terbungkus dalam kantung jiwa (yang secara final) juga memiliki lubang tembus yang bersifat abadi dan Ilahi: bukan jiwa, bukan personalitas, melainkan Segala-Diri (All-Self) yang melampaui semua kedirian; ruh yang terbungkus dalam materi dan dikelilingi oleh jejak psikis. Di dalam setiap mahluk teriluminasi firman atau logos Ilahi yang tak terhingga, yang tak terjamah, tersembunyi, tak tarasa, tak terketahui, yang berasal dari segala keabadian; dan kita dapat membangunkannya dengan cara menghilangkan jaringan akal, indrawi, memecahkan untuk selamanya penjara daging, dan terbang melampaui ruang dan waktu.
        Secara umum, dikenal pula kategori lain tentang entitas manusia, yakni terdiri atas aspek badan dan aspek jiwa. Dalam pandangan tradisional, penilaian ini jelas pejoratif dan cenderung reduksionis. Sebab, pandangan “dualistik” seperti itu terlalu menyederhanakan jika bukannya mempertentangkan satu sama lain. Karena itu, pandangan ini sangat mengabaikan kesatuan esensial mikrokosmis (“manusia”) lantaran mengimplikasikan pertentangan dan tidak merefleksikan kesatuan.  Itu sebab, perspektif tradisional menawarkan the tripartite nature of human being, hakikat tiga aspek manusia: spirit, jiwa dan tubuh—yang   dalam istilah klasik: pneuma, psyche, dan hyle—atau dalam istilah tradisi Barat: spiritus, anima dan corpus.  Jiwa pada dasarnya fundasi bagi tubuh, tetapi manusia secara normal bergantung pada spirit dan memperoleh keselamatannnya melalui perkawinan dengan spirit itu.
        Meskipun demikian Nasr, misalnya menilai bahwa kategorisasi diri menjadi tiga aspek dalam anatomi hakikat manusia itu masih terkesan simplistis. Pada kenyataannya, tak sedikit tradisi mengandaikan, dalam diri manusia justru terdapat banyak lapisan eksistensi. Dalam paham Tantri, aliran-aliran tasawuf tertentu, dan paham Hermetik Barat, tubuh tidak dibicarakan sebagai entitas yang bertentangan dengan jiwa dan spirit, tetapi mereka memosisikan tubuh sebagai lapisan paling luar dari entitas manusia. Dalam perspektif ini, manusia diyakini mempunyai tubuh-psyche dan tubuh-spirit sesuai dengan perbedaan status ontologisnya.
        Diakui pula dalam pandangan tradisional bahwa pada intinya manusia memiliki banyak fakultas internal yang lebih menakjubkan ketimbang yang dikembangkan tradisi modern. Di samping itu, dalam pandangan tradisional, manusia juga memiliki bakat berbicara yang luar biasa sebagai media untuk mengekspresikan pengetahuannya baik yang bersumber dari hati maupun pikiran. Dengan kemampuan berbicara itu, manusia dapat merumuskan “logos” Tuhan.
        Mempertimbangkan kekuatan dan fakultas internal tersebut di atas, manusia pada dasarnya memiliki kekuatan yang sangat dominan dalam kehidupannya: intelegensia, sentimen, dan keinginan. Dengan intelegensia, manusia dapat mengetahui kebenaran dan dengan sentimen, manusia mampu “bergerak” di luar kondisi keterbatasan dirinya sehingga menggapai “yang tertinggi” melalui cinta, penderitaan, pengurbanan, dan juga kecemasan dan harapan. Akhirnya, dengan keinginan, manusia memiliki keluwesan dan kebebasan untuk memilih dan sekaligus merefleksikan kebebasan Tuhan.
        Demikianlah, sejumlah teori hirarki dan klasifikasi manusia dalam pandangan primordial sedikit banyaknya dapat membantu kita dalam melihat posisi sentral manusia itu sendiri, sehingga dengan sendirinya terlihat jelas keterkaitannya dengan paham tradisional. Di titik inilah “Tradisi”—dalam perspektif perennial—dapat dilihat dari dua arah: dari sisi ketuhanan ia adalah narasi tentang “Asal-Usul” seluruh realitas. Sementara dari sudut manusiawi, ia adalah “jalan” manusia kembali kepada Tuhan: “Yang Asal”, Yang Numinous  dan “Yang Primordial”. Dari tataran perspektif seperti inilah sehingga kaum perennialis meyakini bahwa setiap manusia—dalam ikhtiar menyelami makna hidupnya yang paling substansial—selalu mengalami “keterpanggilan” untuk kembali kepada Yang Asal itu. Dalam perspektif Islam, misalnya hal tersebut diwakili dalam ungkapan: innâ li al-Lâh wa innâ ilayhi râji’un: sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya kita semua akan kembali.
        Secara ontologis—keberadaan spirit yang merupakan “citra Ilahi” dan inti terdalam setiap diri—menjadikan manusia memiliki martabat dan kemuliaan (human dignity) yang setara. Karena itu, secara hakiki, setiap manusia dengan sendirinya memiliki jarak yang sama terhadap kemuliaan dan keadilan.
        Dalam teologi iman Kristiani, manusia merupakan wujud gambaran Tuhan (“imago Dei”) yang mewarisi sifat-sifat Tuhan. Tuhan Sang Pencipta dipahami sebagai Tuhan yang kreatif karena mampu menciptakan dunia dan kehidupan di dalamnya. Tuhan kreatif, demikian juga manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan re-kreatif atau daya cipta memungkinkan melakukan perubahan dan menghasilkan suatu kebaruan yang menentukan peradaban manusia. Proses manusia dalam berkreasi menjadikan dirinya serupa dengan “gambaran” Tuhan.
        Manusia memiliki ciri sebagai makhluk yang giat mengkaji dirinya sendiri, sehingga menjadi unik dibandingkan ciptaan yang lain. Kemampuan mempelajari diri sendiri dan lingkungannya telah menghasilkan kemajuan pesat bagi pertumbuhan spesies manusia tapi juga berakibat pada terciptanya kesenjangan dengan spesies yang lainnya. Sesama manusia juga bersaing atau berkolaborasi dalam menghasilkan suatu peradaban baru yang modern, kompleks dan memiliki fungsi dan kegunaan. Manusia yang memiliki peradaban lebih maju akan meninggalkan peradaban manusia lainnya, sementara peradaban manusia yang tertinggal akan cenderung meniru peradaban baru yang lebih baik.  Dalam mengejar ketertinggalannya, manusia sering melakukan   proses akulturasi, adaptasi, amalgamasi, dan seterusnya. Manusia perlu tetap beradaptasi agar tidak tergerus dan mati dalam peradaban yang telah dibangunnya. Sebaliknya, akibat kesenjangan yang terjadi, sejarah kemudian menjadi saksi munculnya eksploitasi manusia atas manusia atau manusia memangsa sesama (homo homuni lupus), yang wujudnya paling ekstrem diwakili oleh imperialisme dan kolonialisme.
        Sejatinya, sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Berada pada posisi strategis, persilangan dua benua dan dua samudra luas, berikut keanekaragaman hayati dan budaya yang dimilikinya, Indonesia menjadi “medan perjumpaan” antar peradaban yang kontinum untuk kemudian menerima pengaruh global baik yang konstruktif maupun destruktif. Dalam pendakuan Latif,  besarnya kontribusi antarperadaban dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat bangsa ini merasa berterima kasih kepada kemanusiaan universal (humanity) yang mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam pergaulan antarbangsa maupun dalam pergaulan nasional.
        Merasakan kepedihan dan penderitaan  sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dan anasir-anasir internasional yang merendahkan martabat kemanusiaan (human dignity). Sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Soekarno memekikkan, “satu banjir yang maha sakti, banjir daripada revolusi Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian daripada revolution of mankind.”  Di balik gemuruh orasi itu, Soekarno ingin menegaskan satu hal: bahwa revolusi sejati tak lain dari revolusi kemanusiaan itu sendiri.
        Di tempat yang berbeda, Mohammad Hatta dalam pidato pembelaannya yang terkenal  di hadapan Sidang Pengadilan di Den Haag, 9 Maret 1928, menampilkan anggitan dan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antarbangsa. Anggitan dan wacana ini pula yang dilontarkan oleh Soewardi Soerjaningrat ketika menulis “Als ik eens Nederlander was” atau oleh Soekarno saat menyampaikan yang pidato pembelaannya yang masyhur, Indonesia Menggugat! Pada tahun 1926, Mohammad Hatta bahkan telah melontarkan badai kritik perihal antagonisme antara Eropa dan Asia yang tidak lain adalah antagonisme antara whitemanity melawan humanity. Di zaman itu, bangsa-bangsa  Eropa dengan sejumlah cara memang selalu menampilkan superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan senantiasa bertumpu di atas perbedaan derajat antarbangsa (Pabottingi, 1991). Sebaliknya, bangsa-bangsa terjajah yang melawan sang penjajah-imperialis itu bertumpu pada asumsi kesederajatan antarbangsa, kesetaraan dan egalitarianisme antarumat manusia.
        Berangkat dari asumsi tersebut, bukan sesuatu yang kebetulan jika spirit humanisme dan egalitarianisme secara bersama-sama kelak memengaruhi api nasionalisme yang bergelora melawan kolonialisme Belanda dan Fasisme Jepang. Spirit dan api perjuangan itu kemudian tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Hal pokok yang diutarakan dalam pembukaan tersebut adalah keterpautan antara proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan kemanusiaan universal, khususnya pada alinea pertama: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa  dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas Dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
        Rangkaian narasi itu menegaskan tentang pesan egalitarianisme dari sebuah bangsa yang baru memproklamirkan kemerdekaannya. Dari jejak itu pula tampak jelas bahwa sejak awal para pendiri bangsa telah menekankan anasir penting yang mesti dijunjung tinggi sebuah bangsa yang merdeka dan beradab: kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan antarbangsa atau internasionalisme. Hal ini juga terlihat tegas pada pidato Soekarno 1 Juni 1945: “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.”
        Nasionalisme Indonesia, dengan demikian, memperjuangkan kesamaan kemanusiaan. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang akhirnya terpatri  utuh dan berpendar dalam sila kedua Pancasila. Dalam rumusan sila kedua, cita-cita kemanusiaan menjadi jiwa kemerdekaan. Hal ini senapas dengan prinsip dan spirit para pendiri bangsa. Pemikiran mereka kebanyakan menukik ke dalam panggilan kemanusiaan. Pada diri Soekarno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan  dan kegotong royongan. Pada sosok Mohammad Hatta, terjelma personifikasi cita-cita kedaulatan rakyat dan egalitarianisme. Pada diri Tan Malaka, tampak sosok ideal Indonesia yang bebas. Pada diri Sjahrir, terjelma cita-cita Indonesia yang humanis. Pada diri Natsir, terpancar ideal sosok Indonesia yang religius. Penghargaan yang tinggi terhadap cita-cita kemanusiaan yang berbudaya dan beradab adalah pancaran dari pikiran-pikiran mereka yang cemerlang mengenai Indonesia seperti apa yang diidamkan. Kebanyakan dari perdebatan mereka pada awal kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang cinta damai dan sekaligus cinta kemerdekaan. Mereka tidak hanya berbicara tentang bentuk negara ideal dan arah yang akan dituju, tetapi mereka juga memikirkan dalam-dalam bagaimana manusia-manusia Indonesia bisa tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang menjadi warga negara yang berbudaya bisa mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya di pentas Dunia.
        Terkait dengan perihal memenuhi sifat adil, Mohammad Hatta mengingatkan,

“Yang harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab langsung terletak di bawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup. Dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan.” 

        Sementara menyangkut sifat beradab, Ki Hajar Dewantoro dalam Notonagoro, mengatakan bahwa, “Pancasila menjelaskan serta nenegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar kemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan, yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada khususnya”.
        Sila kedua Pancasila mengandung pengandaian—sebagaimana ungkapan tegas Soekarno—bahwa kita tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan nasionalisme yang luas. Internasionalisme bagi seorang Soekarno sama dengan “humanity”, perikemanusiaan. Pendapat seperti ini sesungguhnya bersinggungan dengan pelbagai anasir pemikiran internasional, seperti konsepsi kemanusiaan universal dalam agama-agama serta gerakan sosialisme abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Soekarno juga tampaknya terinspirasi oleh Mahatma Gandhi yang menyatakan, “My nationality is humanity”. Namun, Mohammad Hatta mengingatkan, “berhubung dengan power politics, kita harus berhati-hati mengartikan internasionalisme sama dengan ‘humanity’.”
        Dalam telaah yang relatif holistik, Mohammad Hatta memandang sila kedua Pancasila memiliki konsekuensi “ke dalam” dan “keluar”. Ke dalam menjadi pedoman negara untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan hak dasar/asasi manusia, dengan menjalankan fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Keluar, menjadi pedoman politik luar negeri bebas aktif dalam rangka “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
        Fundamental idea pada persaudaraan universal menurut sila Kemanusiaan, yang memberi keseimbangan antara pemenuhan hak-hak individu dan hak sosial, menjadi landasan etis membangun negara-bangsa (nation state) yang humanis. Dengan prinsip kesamaan kemanusiaan yang adil dan beradab, komitmen kemanusiaan dan ikatan keadaban bangsa Indonesia melintasi sekat-sekat lokalitas, nasional, regional, hingga perjumpaan global.
        Imperatif etis—dalam perspektif Kantian—yang dikandung sila kedua Pancasila itu mengandaikan pentingnya menyelenggarakan pemerintahan yang dibangun di atas etika kolektif dan kemanusiaan universal menyusul gempuran globalisasi di seluruh lini kehidupan: sosial, ekonomi, pendidikan, politik, budaya, hingga transideologi dan transnasional paham keagamaan tertentu yang radikal, rigid, dan ekslusif.
        Perkembangan sains dan teknologi yang kini memasuki revolusi industri 4.0, tidak dengan serta merta membawa kehidupan yang lebih damai, adil, dan manusiawi bagi seluruh semesta kemanusiaan. Kemajuan peradaban sains tidak dengan sendirinya membawa terminasi bagi problem ketidakadilan di tingkat nasional dan global. Dibutuhkan visun dan komitmen yang kuat dan berpihak pada kemanusiaan untuk kemudian secara terus menerus diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan di tingkat negara-bangsa dan internasional. Keadilan akan lebih efektif diimplementasikan jika disertai sikap empati, solidaritas, dan kepedulian terhadap problema bersama umat manusia, menyusul gempuran arus global dan modernitas yang kian mendistorsi makna kemanusiaan autentik.
        Kehidupan modernitas dan posmodernitas telah menghadirkan citra manusia yang tercabik secara eksistensial. Citra modernitas adalah citra geometris: satu babak kemanusiaan yang mengandaikan hidup sebagai yang benderang, lurus, dan pejal. Sembari bertumpu pada nalar Cartesian, manusia modern menangkap dunia dengan kukuh: cogito ergo sum—“Aku  adalah tahu.” Tetapi justru di situlah letak soalnya, ketika subyek “aku-yang-tahu” didaulat di atas tubuh dan sejarah yang guyah.
        Dalam Cultural Studies, ide tentang “aku” memiliki paras ganda: “subyek” dan “identitas”. Jika yang pertama mengandaikan aku yang stabil, kodrati, permanen, dan autentik maka yang terakhir lebih menunjuk pada aku yang labil, guyah, konstruksi, dan genting.
        Kehadiran globalisasi membawa hidup yang riuh, gemuruh, serba-cepat, tapi juga menyisakan sepi. Globalisasi, sebab itu, lebih menyediakan sebilah tempat lapang bagi “konstruksi” identitas ketimbang pemupukan aku-subyek: tubuh lebih sebagai wadah berlangsungnya pertukaran benda-benda, persilangan aneka lambang, pergerakan antar ruang-waktu yang demikian cepat akibat teknologi komunikasi dan terbitnya budaya cyber. Akibatnya, persilangan dan perjumpaan kebudayaan menjadi sesuatu yang enteng pada tubuh.
Pieterse (1995) mendaku, dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal. Kebudayaan dan identitas tidak lagi memadai jika dipahami dalam term “tempat” (place), tetapi lebih dikonseptualisasikan sebagai “perjalanan” (travelers): sesuatu yang mengalir dari satu tempat ke tempat lain.  Di titik ini, kebudayaan dan identitas selalu merupakan perjumpaan dan persilangan aneka kebudayaan dan multi identitas. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan disamarkan dan dibuat labil oleh hibridasi.
Dalam subkultur anak muda kita di tanah air, hibriditas tampak sebagai hasil “internasionalisasi”: anak-anak Indonesia dalam hal makanan saja misalnya, telah mengalami apa yang oleh George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (1993) disebut sebagai gejala “McDonalisasi”. Mereka menjelma menjadi generasi Coca-cola, MTV, KFC dan Hard Rock Café dan menjadi bagian dari gaya hidup dan “identitas” baru mereka. Mereka inilah yang belakangan secara populer dikenal sebaga generasi milineal.
Pemuka pemikir poskolonial, Homi Bhabha menyebut gejala tersebut sebagai mimikri, yakni proses “peniruan” terhadap sejumlah elemen kebudayaan liyan (the other).  Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan absolut, tetapi peniru bermain di kancah dan menikmati ambivalensi yang tengah berlangsung dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri—dalam pendakuan Bhabha—selalu  mengandaikan makna yang “anomalis”, ia imitasi tapi juga subversi. Di sini, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghalau dominasi. Seperti topeng: ia bersifat ambivalen, mengawetkan tetapi juga menegasikan dominasinya. Inilah fondasi sebuah identitas hibrida.
Sejak ide globalisasi menggelinding di meja redaksi jurnal-jurnal bisnis internasional pada  dekade awal 1970-an, praktik ekonomi mondial berlangsung dengan pengaruh cukup kuat terhadap lahirnya apa yang dalam Cultural Studies dikenal sebagai budaya pop dan life style. Di titik ini, globalisasi kemudian memiliki saudara kembar yang tak kalah kemilaunya, glokalisasi.
Glokalisasi juga sebentuk hibridasi yang melakukan adaptasi produk global dengan karakter yang bercita rasa pasar lokal. Glokalisasi, sebab itu, boleh dibilang strategi dan juga kritik terhadap konsep perdagangan bebas neoliberalisme, yang tidak lagi mengandaikan spesialisasi produk khas yang dimiliki sebuah negara. Karena itu para produsen mengondisikan sedemikian rupa agar sebuah negara sebagai target pasar, berada dalam satu aras sosio-kultural yang sama dengan negara asal sebuah produk. Glokalisasi, misalnya, benderang ketika KFC—dalam membangun cita selera pasar lokal—mengontrak sejumlah artis papan atas setempat seperti Agnes Monica, Wulan Jamila, Baby Romeo, Ungu dan seterusnya, sebagai bintang iklan untuk “menghipnotis” pasarnya di Indonesia.
Cultural Studies meletakkan glokalisasi sebagai gejala adaptasi produk-produk global pada paras lokal yang dilakukan masyarakat dalam anyaman budaya hibrid.  Adaptasi, interpretasi, dan mimikri masyarakat lokal itu pada urutannya menggelontorkan kemungkinan adanya pergesaran—jika bukannya pendistorsian—makna atas nilai budaya dari satu tempat tertentu. Sebutlah misalnya, bagaimana celana jeans yang dipakai kelas pekerja kasar dan cowboy di Amerika atau Eropa, di Indonesia justru hadir sebagai  fashion elite dan eksklusif. Ini menunjukkan, terdapat interpretasi atau “kosmos” yang berbeda antara masyarakat Indonesia dan Amerika dalam hal pakaian.
Demikian juga terjadi pada logosentrisme yang memiliki slogan return of the text meletakkan bahasa sebagai medium dalam proses glokalisasi. Di titik ini, bahasa mampu menganyam emosi hingga produk global terasa lokal. Kesetiaan pemirsa Indonesia terpaku berjam-jam di hadapan televisi ketika menyaksikan tayangan sinteron-sinetron India melalui proses dubbing semisal “Pakhi”, “Lonceng Cinta”, “Geet”, “Mahabharata”, “Maha Dewa”, dan seterusnya bukannya penegasan jejak apresiasi mereka terhadap kebudayaan India, tetapi lebih karena sebagian besar plot cerita yang disuguhkan, mengolah konflik keseharian manusia, dari cinta, kesetiaan, penghianatan, perebutan warisan, perselingkuhan, hingga perebutan kuasa.
Gejala hibridasi identitas, juga glokalisasi, kini tengah menggelombang, merasuk, dan menginvasi kehidupan jamak kita. Ia telah memroduksi “identitas” baru dan bayang-bayang hiperialitas. Akibatnya, “subyek”, sang aku-autentik kian samar, pucat, dan sunyi di titik tepi.
Sementara itu, salah satu produk tatanan global adalah “parodi”. Parodi itu sejenis iman yang mengejek, ungkap seorang penyair. Seorang seniman yakin, parodi adalah cermin buram untuk paras yang letih. Itu sebab, tidak berlebihan jika filsuf Prancis George Bataille menyimpul, “Dunia tak lebih dari sebuah parodi”. Bagi Bataille, segala yang tampak di kehidupan ini, adalah parodi yang mengandung sindiran terhadap sesuatu. Namun, belakangan sindiran tidak semata ditujukan kepada sesuatu yang liyan (other), tetapi juga merupakan parodi atas diri sendiri.
Melalui pusparagam parodi, Bataille secara implisit menunjukkan, bahwa dunia—dengan  aneka warna kebudayaannya—dibangun di atas sebuah sistem yang disebutnya “oposisi duaan” (binari opposition): sistem yang terbentuk dari dua unsur yang saling berseberangan, bertabrakan, tapi saling memberi keseimbangan, saling mengisi, bersifat tertutup, pasti dan tidak berubah baik dalam sistem geofisik, genus, filsafat, seni, maupun bahasa.
Kehidupan bernapas dan eksis sejauh ia memiliki dua unsur yang berhadapan dan saling memparodi: tua/muda, laki-laki/perempuan, siang/malam, panas/dingin, dan seterusnya sebagaimana bahasa eksis disebabkan kata “asli” artinya “bukan palsu” dan kata “menang” artinya “bukan kalah”.
Bataille mendaku, parodi mengakibatkan terjadinya interupsi kemanusiaan yang dapat mengguncang sistem keseimbangan geofisik, genus, filosofis, bahasa, maupun seni. Dunia kita kini tengah mengalami perubahan radikal dan simultan pada “penampakan” (appearance) paras dunia, disebabkan terjadinya interupsi pada paras kota, paras keluarga, paras pendidikan, paras politik, paras hukum, paras sosial, paras kebudayaan, dan paras diri kita sendiri.
Dunia kini seolah-olah memiliki “gravitasi dan sistem satelit” baru, yang merupakan parodi dan pesaing sistem gravitasi dan satelit semesta. Sedemikian  rupa sehingga ia menjadi semacam “semangat zaman” (zeitgeist) baru: semangat total dan simultan yang berhasrat mengubah, mendekonstruksi, dan memparodi semesta, serta menciptakan “semesta tandingan” berupa kebudayaan materi dalam bentuk komoditi.
Terkait dengan itu, filsuf Jean Baudrillard dalam karya monumentalnya Simulation, membagi tiga tahapan penampakan paras dunia: counterfeit, production, dan simulation.  Pertama, counterfeit adalah fase dominan di Zaman Klasik, Abad Pertengahan hingga revolusi industri yang mengandaikan “produksi bebas” tanda, fashion, model, menggeser pertandaan kasta atau iklan yang bersifat represif dan hegemonik. Kedua, production, pola dominan di era industri yang ditandai dengan otomatisasi produksi dan “universalisme” nilai-nilai. Di titik ini, manusia disuguhkan aneka pilihan penampakan gaya dan gaya hidup (life style) namun pilihan tersebut  dirumuskan sepenuhnya kaum kapitalis.
Ketiga, simulation, adalah pola kehidupan dewasa ini yang dikontrol oleh jagat kode dan semesta “realitas buatan” (hiperialitas). Fase ini ditandai dengan berkembangnya demokratisasi yang ekstrem dalam dunia penampakan, di mana manusia tidak saja mendapatkan kebebasan dalam memilih gaya dan gaya hidup, tetapi bahkan diberi peluang besar untuk menciptakan penampakan berbagai simulasi dan parodi dirinya sendiri.
Dunia penampakan simulasi yang berciri parodik ini ditandai dengan kegaduhan, kesimpangsiuran, penyalahgunaan dan pembajakan “tanda”. Lihatlah fenomena tindakan “saling bajak” dunia tanda antara laki-laki dan perempuan. Mereka saling memparodi tanda dan identitas: Laki-laki masa kini memakai anting, gelang, cat kuku, ikat rambut, tindik, dan seterusnya sebagai pembajakan identitas feminitas. Sebaliknya, wanita masa kini mengikuti body building, main sepak bola, tinju, binaragawati, angkat besi, mengenakan celana jeans cowboy, menyetir mobil balap, sebagai suatu pembajakan tanda dan identitas maskulinitas.
Dalam kehidupan sosial politik kita, fenomena saling bajak dan saling memparodi pun kini tengah berlangsung dengan intens lalu menampilkan paras yang saling meniadakan. Hadirnya sejumlah partai atau ormas “tandingan” yang hiruk pikuk, sebenarnya lebih merupakan parodi dari partai atau ormas itu sendiri. 
Demikian juga halnya dengan dunia akademik. Pendidikan kini tidak lagi semata-mata berkaitan dengan ikhtiar pengembangan peradaban intelektualitas, kearifan dan moralitas, tetapi lebih pada upaya menyiapkan manusia menjadi komoditi, memanifestasikan diri  melalui citra cermin sistem ekonomi, yang siap masuk ke dalam sistem kekuasaan kapital dan gemuruh perubahan gaya hidup hedonis. Pendidikan super kilat MBA, magister, dan doktoral dengan biaya yang melambung, sejatinya adalah komodifikasi dan parodi dari pendidikan itu sendiri.
Abainya manusia terhadap norma “abstrak”—agama, moralitas, mitos, ideologi—telah mengalihkan perhatian manusia pada norma “kongkret” berupa norma komoditi, informasi dan media massa, yang dijadikan seolah-olah sebagai episentrum baru—sebilah arus di mana seluruh aspek kehidupan manusia berpusat. Hampir seluruh aspek kehidupan tersebut menjadi semacam teater dan tontonan massal yang dipentaskan di atas panggung kapitalisme. Itu sebab, tak kurang dari Guy Debord dalam The Society of Spectacle (1977), menyebut masyarakat dunia kini sebagai “masyarakat tontonan”.    
Di aras ini, manusia sejatinya tengah memparodi dirinya sendiri secara radikal, akibat dari krisis kepercayaan terhadap aku-subyek yang autentik. Manusia  kini lebih percaya pada apa yang dikenal dalam psikoanalisis sebagai “citra cermin”, meski buram. Tetapi inilah parodi: tontonan yang menjungkalkan realitas autentik ke dalam lumpur hiperealitas yang guyah, rapuh, dan instan. Akibatnya, aku-subyek yang “autentik” kian terhimpit oleh bayang-bayang realitas palsu (hiperialitas).
Percakapan perihal hiperialitas dalam kajian Cultural Studies, memiliki posisi istimewa terutama jika dikaitkan dengan krisis manusia modern yang gagal “menemukan” ego autentiknya. Hiperialitas mengandaikan sebilah realitas yang telah menjungkirbalikkan relasi kompleks antara tanda, makna dan realitas, yang memroduksi relasi simulasi. Simulasi adalah  actus penciptaan “realitas” yang tidak lagi mengacu pada realitas faktual sebagai referensinya, tetapi menjelma semacam realitas kedua yang referensinya justru dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum). Dengan demikian, simulasi bukanlah sebuah bentuk representasi dari realitas, tetapi lebih merupakan salinan atau kopian dari dirinya sendiri. Itu sebab, perihal “tubuh”—yang  dalam Cultural Studies tidak identik dengan “badan”—menarik ditelaah. Jika yang terakhir lebih bersifat fisik, objektif, dan materiil, yang pertama justeru keseluruhan yang melekat pada diri manusia: mulai dari mental-spiritual, moral, jiwa, pikiran, rasa, perilaku, bahasa, gaya hidup, simbol, dan aktifitas sosial lainnya.
Dalam timbangan semiotika, misalnya tubuh diletakkan tidak semata-mata sebagai objek, tapi juga medium komunikasi dan penyampaian pesan. Di titik ini, tubuh dikonversi menjadi ‘tanda’ yakni ‘tanda tubuh’ (body sign) sebagai jangkar percakapan ‘semiotika tubuh’ yang mengandaikan tubuh sebagai penanda sosial. Tubuh, sebab itu, dalam perspektif Saussurian, dijadikan sebagai serangkaian penanda  (signifier) yang ditumpangi dengan aneka makna atau konotasi: pesona, sensual, macho, dan kuasa. Di sisi tertentu, tubuh juga dikonversi sebagai sebuah ‘teks’—yakni kumpulan  galaksi tanda—untuk mengekspresikan sebilah konsep atau narasi tertentu. Tubuh sebagai ‘narasi’ menunjuk pada sebuah proses rangkaian tanda yang disaput makna.
Namun kapitalisme dengan sayap neoliberalismenya, hadir untuk merontokkan makna yang melekat pada tubuh. Nalar kapitalisme memosisikan tubuh tak lebih sebagai ‘alat tukar’. Di sini, tubuh diandaikan sebagai  citra atau kode untuk memberi makna pada komoditas. Karena itu, eksploitasi pesona tubuh—khususnya perempuan—merupakan “prosedur tetap” dan baku dalam setiap produksi komoditas dan pertukarannya. Lihatlah bagaimana tubuh dengan mudahnya ‘terhempas’ ke dalam pusaran-badai dekonstruksi moral. Komodifikasi dan liberalisasi tubuh tanpa batas menciptakan dua paras dunia: ‘ketelanjangan’  dan ‘nir-rahasia’, di atas mana segala bangunan moral tentang tubuh dikhianati, demi untuk mendongkrak daya pesona komoditas.
Sementara itu, kehidupan sosial—dengan  ranah yang demikian kaya dan berwarna—adalah  habitus, ruang di mana tubuh diproduksi sebagai aneka tanda yang diideologisasi melalui kekuatan bahasa. ‘Ideologisasi tubuh’, karena itu, adalah mekanisme di mana tubuh diproduksi melalui ragam wacana bahasa, gagasan, dan ideologi—di atas mana kesadaran aku-subyek tumbuh mekar.
Pengandaian dan permainan tanda ‘ideologisasi tubuh’ ini, pada urutannya meletakkan tubuh sebagai dan dieksploitasi menjadi penanda yang diselubungi makna tertentu. Tanda tubuh di era hiperialitas ini, menjadi semacam ‘alat tukar’ (currency) sesuai dengan fungsinya di dalam sistem komunikasi sosial.  Di dalam arena permainan tanda ‘religiusitas’, umpamanya tubuh acapkali dinilai sebagai sesuatu yang kotor dan sebab itu menjadi “penghalang”  untuk mencapai derajat eksotisme spiritualitas sekalipun. Prinsip thaharah atau “bersuci” yang menjadi salah satu tungku keberagamaan api Islam, misalnya merupakan representasi dari keyakinan ini. Seseorang tidak diperkenankan melakukan sebuah proses transendensi dalam meraih makna puncak kehidupan spiritual melalui ibadah salat, kecuali diawali dengan tindakan wudhu, yakni penyucian anggota-anggota tubuh tertentu yang diyakini sebagai bentuk imperatif dari titah-Nya.
Begitulah, subyek hanya mungkin dikondisikan oleh kebertubuhannya. Tak ada subyek tanpa keberadaan tubuh. Tubuh  menjadi situs keberadaan subyek dan merupakan satu-satunya cara diri mengartikulasikan aku-subyeknya. Di ruas kesadaran ini, agama kemudian membuka ruang besar dalam memaknai kebertubuhan manusia. Dalam tradisi Islam, misalnya meletakkan puasa, yang menyangga lapar dan dahaga, shalat lail di sepertiga malam, dan dzikir yang senyap-sembab air mata adalah aktus tubuh yang hadir justru untuk merengkuh misteri cinta-Nya dalam degup jantung yang rahasia.
     Sejumlah pemikiran klasik tentang manusia mewartakan dua pembedaan biner: tubuh (body) dan jiwa (mind) dengan memosisikan yang terakhir sebagai fokus kajian filsafat dan mengabaikan yang pertama. Descartes yang menyulut gagas itu dan mengandaikan ‘jiwa’ sebagai petanda eksistensi, sebagai konfirmasi ontologis tentang ‘ada’. Sebaliknya Marx menghancurkan determinasi pikiran ini, lalu merayakan pandangan ‘determinasi tubuh’, dengan mengatakan ‘relasi produksi material’—dan peran tubuh (pekerja) di dalamnya—justru menentukan struktur pikiran dan ideologi, bukan sebaliknya.
Inilah yang melahirkan pandangan yang bersilang tentang tubuh: ‘idealisme’ dan ‘materialisme’. Pandangan terakhir diwakili, misalnya oleh Ranciére yang mengandaikan tubuh sebagai ‘yang mengindera’ (sensible): ‘yang kasatmata’, ‘yang dipertontonkan’, dan ‘yang tampak’. Juga tubuh dilihat sebagai ‘konsensus sosial’ yang bekerja melalui mekanisme partisi yang memilah tubuh dalam ‘bilik-bilik’ ruang, tempat, dan waktu dalam relasi sosial. Tubuh, sebab itu,  dibingkai ke dalam aneka konvensi.
Tubuh diandaikan selalu berada dalam tegangan: antara personal dan sosial, privat dan publik, ‘aku’ dan liyan, kodrati dan konstruksi, atau antara natural dan kultural. Ketika tubuh berada di ruang sosial, ia menjadi tumpuan berbagai norma, konvensi, dan kode-kode sosial yang koersif. Di sini, ‘tubuh individual’ ditransformasikan menjadi ‘tubuh sosial’.
Dalam ruang sosial, tubuh acapkali menjadi sasaran eksploitasi sejumlah kepentingan: ekonomi, agama, politik, media, hiburan, dan seni. Bahkan tubuh, kerap dieksploitasi—dan menjadi sasaran tembak dari—sebilah praktik kekuasaan. Di ruang ekonomi, tubuh menjelma sebagai komoditas; di bilik politik, tubuh dikonversi menjadi massa; di ranah budaya, tubuh menjadi ‘tontonan’, dan dalam agama, tubuh menjadi ‘umat’ yang bisa ditarik ke sana ke mari dan mengabdi pada kepentingan profan.
Begitulah, ketika tubuh—dalam konstruksi sumbu-gagas tertentu—tercabik  bersama serpihan logam, dan darah yang muncrat, dan gelegar  raung sebuah bom: sejatinya, yang tengah berlangsung bukanlah jejak dari setangkup ideologi atau ajaran, tapi luka perih meradang yang mekar, menyusul ‘tafsir” para demagog terhadap pemaknaan teks-doktrin tertentu secara literer-adhoc.
Sementara itu, keadilan adalah anggitan paling riuh dipercakapkan dalam sejarah manusia, tapi juga sebuah istilah yang mengelak. Tak satu pun filsuf dan penggiat pemikiran yang sukses membidik keadilan dengan sempurna. Ada yang mendaku, keadilan ibarat angin: terasa, tapi rumit dirumuskan. Lebih mudah rasanya merumuskan paras sebaliknya: ketidakadilan.
“Kita dapat menjadi kuat dengan pengetahuan, tapi kita memperoleh kepenuhan jiwa melalui simpati,” ungkap Tagore yang dikutip Martha Nussbaum, pembuka salah satu bab bukunya, Not for Profit: Why Democracy Needs Humanity.  Nussbaum adalah pemuka pemikir paling gigih yang mengembangkan teori keadilan melalui, di antaranya, kapabilitas “imajinasi”. Nussbaum mengandaikan: “tanpa simpati tidak mungkin kita peduli dan tanpa kepedulian tidak mungkin kita membentuk masyarakat adil”. Di sini, Nussbaum, mengadopsi dan menerjemahkan anggitan humanitas yang dikenalkan Cicero, menjadi “simpati”.
“Ada dua pilihan ketika sosok manusia hadir di hadapan kita,” ungkap Nussbaum: memosisikan dia sebagai sesama manusia, atau sekadar sesuatu seperti objek-objek di sekitar kita. Di titik ini, Nussbaum mengajak kita untuk melatih imajinasi dan mengandaikan manusia musti diletakkan sebagai sesosok pribadi dan bukan seonggok objek.  
Imajinasi memungkinkan kategori abstrak seperti keadilan, menjadi nyata dan hidup pada saat kita membayangkan bukan orang lain, tapi “diri” kita sendiri yang mengalami dan dikerkah perlakuan tidak adil, misalnya karena identitas jender, pilihan agama, pemihakan politik, pilihan untuk bebas dan merdeka dari ketertindasan imperialisme, neoliberalisme pasar dan seterusnya. Bagi Nussbaum, hanya kemampuan imajinatif yang sanggup menggerakkan kita untuk memandang orang lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan sarana eksploitatif untuk kepentingan kita.
Menimbang kebinekaan yang menjadi ciri keunikan Indonesia, pertanyaan mendasar yang relevan dihadirkan: bagaimana kita dapat melahirkan budaya emosi publik yang akan membuat masyarakat lebih adil, lebih inklusif, lebih berkeadaban, lebih berbudi, dan lebih imajinatif?
Dengan menggunakan perspektif Nussbaumian, “Indonesia,” melalui para pendiri Republik ini, musti dipandang sebagai sebilah imajinasi “kode kebangsaan” yang terwujud pada 17 Agustus 1945. Sejak itu, de facto Indonesia telah lahir. Namun, bagaimana membangun Indonesia yang bukan hanya terdiri dari kerumunan 265 juta orang, melainkan sehimpunan warga negara?
Salah satu imajinasi para pendiri Republik ini, mengukuhkan tekad dalam narasi fundamental “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Tekad tersebut mengandaikan adanya gerak transformasi cara hidup setiap warga negara Indonesia, sehingga dia tidak lagi berpikir, merasa, dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etnik, budaya, dan agama tertentu melainkan hidup bersesama berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, keadilan, dan keadaban (civility). Di titik ini pula kita memahami, mengapa Nussbaum begitu kukuh mengandaikan imajinasi, saling menghormati, dan cinta kasih, poin penting untuk membangun keadilan.
Di alas kesadaran ini pula visi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bisa menjadi panduan (guiding principles) bagi proses pengadaban (civilizing process), yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam relasi antarbangsa. Kalimat “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah satu kesatuan, yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa  memahaminya secara utuh. Kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri Republik ini adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dalam pelbagai dimensi dan manifestasinya. Di sini, dimensi humanitarianisme dan universalitas hadir begitu kuat mewarnai sila Kemanusiaan. Prinsip egalitarianisme dan emansipatorisme tampak sangat kental, meski secara tersirat. 
Sila kedua Pancasila mengandaikan pentingnya menekankan nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia (human rights), martabat manusia (human dignity), taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu sebab, dalam hal urutan sila-sila Pancasila letaknya tidak dapat dipisahkan  dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti juga dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dasar ini sifatnya universal tidak terikat pada batas teritori negara atau corak bangsa. Jika sila Ketuhanan memberikan tekanan hubungan yang berdimensi vertikal-transendental, maka sila Kemanusiaan menekankan hubungan horizontal-profan-historis.
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu menuntut pemerintah dan penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan menggenggam cita-cita moral rakyat yang mulia. Dengan budi-pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur, negara menjalankan imperatif etis untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” berdasarkan persatuan  dengan mewujudkan hak-hak asasi manusia dan melindungi martabat kemanusia yang berdimensi keadilan serta “ikut melaksanakan ketertiban dunia” berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui penguatan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dengan begitu, seperti diandaikan Notonagoro,  “Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”


C.    Kontekstualisasi Nilai Persatuan Indonesia

Kesusksesan Indonesia sebagai “bangsa”—dalam  pengertian keberhasilannya muncul di tengah perikehidupan bangsa-bangsa di dunia—memiliki jejak sejarah yang jauh dan sebab itu, tidak dapat dipandang sebagai hal biasa. Kesuksesan itu didahului dengan perjuangan panjang yang penuh rintang dan bukit terjal yang berbahaya sehingga tak sedikit menuntut pengorbanan.
Bermula dari fakta, terdapat berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia Tenggara, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil.  Hubungan antarpulau tidak selamanya mudah, sehingga masing-masing pulau sedikit-banyak terisolasi satu dari yang lain, suatu kenyataan yang kelak mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan, dan kebudayaan yang terpisah-pisah. Bahkan dalam lingkungan pulau-pulau besar pun, pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda itu muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya, mengikuti kondisi demografis dan topografisnya yang menyebabkan terbentuknya wilayah-wilayah yang terpisah satu dari lainnya.
Keanekaragaman budaya itu berparas ganda: di satu sisi menyodorkan kekayaan, tetapi di lain sisi memaparkan kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat dibandingkan dengan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman itu dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida (hybrid culture) yang kaya dan tangguh, melalui penyerbukan silang budaya (cross cultural fertilization). Sejumlah bentuk penyerbukan silang budaya telah terjadi, tetapi umumnya merupakan hal-hal “kebetulan”, sebagai akibat samping interaksi perdagangan regional yang ditunjang oleh kekuasaan politik. Peranan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh—dengan sedikit mengabaikan peradaban-peradaban Klasik Nusantara “pra-sejarah” yang tak kalah memesona—penting sekali dalam proses penyerbukan silang budaya Asia Tenggara. Pengaruh penyerbukan silang budaya itu dapat dikenali terutama hadirnya unsur kosmopolit dan universal dalam banyak segi budaya umum kawasan Asia Tenggara.
Sisi  kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antarsuku dan pulau. Karena itu Asia Tenggara selamanya rentan terhadap penaklukan dan penjajahan dari luar. Usaha penguatan kohesi beberapa bagian atau keseluruhan Nusantara melalui penyatuan dalam kekuasaan politik tunggal pernah beberapa kali terjadi, seperti oleh kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan Aceh, misalnya. Tetapi usaha-usaha itu menghasilkan suatu penyatuan wilayah yang tidak persis sama dengan wilayah Indonesia modern sekarang ini. Di satu sisi hasil penyatuan itu lebih kecil daripada Indonesia sekarang, karena tidak mencakup seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke. Di sisi lain, hasil penyatuan ini lebih besar daripada wilayah Indonesia sekarang ini, karena mencakup pula wilayah-wilayah di luar liangkungan Sabang-Merauke, seperti di Semenanjung Melayu, Kalimantan Utara, Mindanao, bahkan sampai Formusa dan Madagaskar.
Penyatuan wilayah Asia Tenggara yang kini dikenal sebagai “Indonesia” adalah kelanjutan dari wilayah kekuasaan penjajahan Belanda. Wilayah itu dikenal  sebagai “Hindia Belanda” atau “Hindia Timur Belanda” (Dutch East Indies). Tetapi Indonesia sebagai “bangsa” tidaklah dibentuk oleh Belanda atau pemerintah penjajah, melainkan justru oleh semangat perlawanan terhadap penjajahan itu. Inilah bagian dari hakikat kebangsaan kita yang agaknya perlu dipahami secara lebih baik, lebih jujur, dan lebih seimbang.
Ada beberapa hal amat penting yang harus ditelaah ulang mengenai proses penjajahan Asia Tenggara oleh bangsa-bangsa Eropa. Sudah sejak berabad-abad sebelumnya, kawasan Asia Tenggara menjadi sumber pengadaan komoditi dagang yang sangat dibutuhkan masyarakat dunia. Rempah-rempah termasuk yang paling dikenal sebagai komoditi amat penting saat itu, di samping bahan-bahan wewangian seperti cendana dan gaharu, juga getah “kapur” dari Aceh, khususnya dari Barus (“kapur Barus”). Disebabkan pesona produk-produk eksotik itu, kawasan Asia Tenggara sudah dikenal sejak lama oleh para saudagar dari Anak-Benua India dan Timur Tengah. Dari kawasan Anak-Benua datang saudagar-saudagar yang membawa agama-agama India, yaitu Hindu dan Budha. Pengaruh kekuasaan politik yang mereka tanamkan mendorong berkembangnya budaya bercorak India, dengan peran utama Bahasa Sanskerta. Ciri budaya keindiaan kawasan ini merupakan alasan untuk mengenalinya sebagai Kawasan India, sehingga dalam khazanah antropologi disebut “Indonesia”, yakni “Kepulauan India”, sebanding dengan dataran tenggara Asia yang disebut “Indocina”, yakni “Cina India”. 
Dengan infrastuktur budaya Sanskerta, untuk jangka waktu lama Asia Tenggara merupakan wilayah budaya besar yang behubungan satu dengan lainnya, untuk kemudian bersambungan dengan budaya Anak-Benua. Pola budaya ini lebih memperkuat kecenderungan yang sudah ada, yakni penyatuan sebagian besar wilayah Asia Tenggara ke dalam kawasan perdagangan regional yang berpusat di Anak-Benua India.
Sementara itu, pada saat puncak-puncak perkembangan peradaban Islam, kawasan Asia Tenggara menyatu dalam pola budaya umum yang meliputi hampir seluruh belahan bumi timur sejak dari wilayah-wilayah Afrika dan Eropa pada tepi Lautan Atlantik sampai ke wilayah Zaitun (sekarang Guangzhou) di daratan Cina pada tepi Lautan Teduh. Dengan begitu terbentuk pola dasar sebuah budaya umum berdimensi hemispheric  artinya, meliputi seluruh belahan bumi (yakni belahan bumi “timur”, karena daratan Amerika sebagai belahan bumi “barat” belum “diketemukan”), suatu dimensi yang saat itu setara dengan dimensi “global” sekarang ini. Pola budaya hemispheric itu menghasilkan terbentuknya lingkungan yang memberi kemudahan bagi penyebaran dan peneguhan agama Islam di kawasan Asia Tenggara. Peranan penting para pedagang dari Anak-Benua tetap berlanjut dan dominan, namun kali ini mereka kebanyakan tidak lagi beragama Hindu dan Budha, melainkan Islam. Mereka menganut pola budaya Perso-Arab, yang sedikit banyak menggeser pola budaya yang bercorak Sanskerta. Dalam perkembangan selanjutnya pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak kearaban dengan dominasi Bahasa Arab, tanpa banyak unsur Bahasa Persia. Pinjaman kata-kata Arab dalam Bahasa-bahasa Asia Tenggara tidak lagi lewat Bahasa Persia, tetapi langsung dari bahasa Arab.
Pada saat-saat Asia Tenggara bergabung dalam pola budaya hemispheric itu, pusat-pusat kekuasaan di Nusantara masih terbagi antara yang Islam seperti Kesultanan Aceh dan yang Hindu seperti Kerajaan Majapahit. Tetapi pada saat bersamaan pusat-pusat kegiatan perdagangan di berbagai kota (Persia: bandar) di tepi pantai atau sungai besar boleh dikata semuanya berada di tangan para saudagar Muslim. Di kalangan mereka banyak saudagar besar yang sekaligus bertindak sebagai penguasa (“wali”) pemerintahan bandar-bandar itu. Suasana otonom pemerintahan kota pantai itu diperkuat dengan berdirinya gilda-gilda perdagangan berbentuk lingkungan bangunan dengan tempat penginapan para saudagar dari luar wilayah. (Tempat penginapan itu disebut “pondok”, dari perkataan Arab “fundûq” yang berasal dari perkataan Yunani “pandokheyon” atau “pandokeyon” yang berarti penginapan—dalam terminology Arab modern “fundûq” berarti hotel).
Para saudagar itu, dengan kearifan cosmopolitan mereka, juga berperan sebagai tempat meminta nasehat bagi masyarakat luas, gilda-gilda dagang mereka menjadi tujuan para penuntut kearifan, dan pondok-pondok mereka menjadi tempat menginap para penuntut yang datang dari jauh.. berangsur-angsur “pondok” yang semula merupakan penginapan para saudagar berkembang menjadi “pondok” penginapan para penuntut ilmu dan kearifan, sama dengan gejala umum yang didapatkan  di seluruh dunia Islam saat itu, dengan nama-nama yang berbeda seperti zâwiyah, ribâth, khâniqah, dan tekke. Semua itu sekaligus merupakan tempat pertemuan kaum sufi, yang dalam banyak hal mereka itu juga kaum pedagang. Konsep “pondok” kemudian terpadukan dengan konsep “padepokan”, dan terbentuklah “pondok” sebagai institusi pendidikan dan kajian yang khas Indonesia seperti kita saksikan sekarang. Jejak sejarah Nusantara klasik yang secara singkat dibentangkan di atas, kian meneguhkan bahwa konstruksi keindonesiaan adalah hasil rekonfigurasi politik terus-menerus selama ratusan tahun hingga kini.
Tak dapat dipungkiri, memori sejarah politik kita sebagai bangsa, sering terlalu pendek direntang, bahkan sangat singkat bila dibanding rentangan waktu yang telah mengaliri sejarah Nusantara. Manakala kita hendak mengonstruksinya, kita pun sering memenggalnya sesuai dengan kebutuhan politik: biasanya kita hanya  beberapa tahun dari 1945, yakni rentetan peristiwa 1928, kemudian surut sedikit ke belakang 1912 karena ada Sjarikat Islam, lalu ke 1911 jejak awal berdirinya Indische Partij, dan berakhir di sekitar peristiwa awal berdirinya Boedi Oetomo pada 1908.
Merujuk rentangan tersebut, maka, pertama, embrio “Indonesia” mulai dikonstruksi sejak 1908, menjadi kebulatan tekad pada 1928, proklamasi konstruksi gagasan ini pada 1945, dan diupayakan wujudnya pasca-1945 hingga sekarang. Kedua, pluralitas atau kepelbagaian mulai menyempit pada 1928 dan menghilang dari kesadaran politik sejak 1945, khususnya setelah persatuan bangsa dinyatakan menjadi kesatuan negara dalam UUD 1945. Karena itu, generasi yang hadir pasca-1945 tak sedikit yang takjub dan bingung tatkala fenomena pluralitas muncul sejak akhir abad ke-20 dan semakin menguat di awal abad ke-21 bersamaan dengan kian mengerasnya gerakan anti-pluralitas itu sendiri. Di titik kesadaran ini, sebuah pertanyaan muncul: sejauh mana sesungguhnya kedalaman akar kepelbagaian atau kebinekaan Indonesia itu. 
Bangsa dan negara di Nusantara—khususnya dalam bentuk kerajaan-kerajaan—tampak  jauh lebih kompleks bila mempertimbangkan definisi Will Kymlicka tentang bangsa dan negara. Di dalam bangsa yang baru terbentuk tentu ada sejumlah komunitas dasar yang tidak lagi memiliki kelengkapan institusional sebagaimana dalam sebuah negara berdaulat. Selain itu, ada sejumlah suku yang belum pernah “mengada” sebagai sebuah bangsa dan negara, misalnya, suku-suku di tanah Papua. Dengan kata lain, negara-negara di kawasan Nusantara ini terdiri atas multibangsa, polietnis, dan beratus suku yang belum memikirkan wacana bagaimana seharusnya berbenah diri untuk menjadi bagian dari bangsa dan negara pra Hindia-Belanda, Hindia-Belanda, dan Indonesia. Berikut kita kutip pandangan Kymlicka tentang negara:

“Suatu bangsa…yakni sebagai masyarakat antargenerasi, yang kurang lebih secara institusional lengkap, menduduki suatu wilayah atau tanah tertentu, memiliki Bahasa dan sejarah yang sama. Dan suatu negara itu multicultural apabila para anggotanya berasal dari berbagai bangsa (suatu negara multibangsa) atau telah beremigrasi dari berbagai bangsa (suatu negara polietnis) dan apabila kenyataan ini merupakan aspek yang penting dari identitas personal dan kehidupan politik.”

Karena itu, pembentukan bangsa dan negara Indonesia sebagai sebuah entitas politik adalah konstruksi devolutif (kemerosotan politik) sekaligus evolutif. Bangsa-bangsa yang sebelumnya berdaulat dalam bentuk kerajaan-kerajaan Nusantara, mengalami devolusi politik menyusul terbentuknya bangsa baru (Hindi-Belanda). Namun proses transformasi “bangsa baru”  ini berlangsung sangat lamban. Misalnya ketika hendak beralih dari kesadaran politik bangsa Hindia-Belanda menuju bangsa Indonesia, ia harus memasuki nasionalisme regional lebih dulu (dengan munculnya kesadaran untuk mengonstruksi bangsa Jawa dan Sumatera) ketimbang langsung melompat ke gagasan mengonstruksi bangsa Indonesia—selain ide tentang etnonasionalisme berbasis agama, khususnya Islam (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Nasionalisme Regional Pra-Indonesia, 1917
Bangsa menurut Anthony D. Smith    Bangsa Sumatera versi Jong Sumatranen Bond (1917)    Bangsa Jawa versi Jong Java Bond (1918)    Bangsa Indonesis versi Jong Islamieten Bond (1925)
Proper name    Sumatera Raya    Jawa Raya    Indonesia
Common myths    Sriwijaya    Majapahit    Penderitaan di masa kini
Share history    Kejayaan bangsa-bangsa Sumatera    Kejayaan bangsa Jawa (Majapahit dan Mataram)    Kejayaan di masa depan
Common public culture    Aneka budaya Sumatera dan Bahasa Melayu    Jawa dan Bahasa Belanda    Islam
Occupation of homeland    Pulau Sumatera    Pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok     Nusantara
Common rights and duties    Bangsa Sumatera    Bangsa Jawa    Bangsa Indonesia
Single economy    Mengutamakan perdagangan, bukan penguasaan teritorial    Mengutamakan kekayaan warisan budaya leluhur    Kekayaan alam

Sumber: Diolah dari Anthony D. Smith, Nationalism: Theoty, Ideology, History (Cambridge: Politiy Press, 2001); Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, terj. Sudewo Satiman (Jakarta:  KITLV, Pustaka Utan Kayu dan Hasta Mitra, 2003).

Dari tabel 1. di atas tampak rumusan “bangsa” dari berbagai perspektif. Pertama, karakter nasionalisme Sumatera mengonstruksi sebuah bangsa yang baru atas kesadaran akan Sumatera sebagai kawasan multibangsa   yang muncul pada awal abad ke-20. “Nasion Sumatera tidak ada, tetapi harus diciptakan” berdasarkan pada elemen-elemen “persamaan bahasa, suku, masa lalu, keyakinan, atau kepentingan”.  Inilah yang salah satu tujuan atau alasan kelahiran Jong Sumatranen Bond (JSB). Kedua, nasionalisme Sumatera menyintesiskan budaya Barat dan Timur. Dalam kongres pertamanya pada 1919, JSB untuk pertama kalinya menggunakan Bahasa Melayu sebagai Bahasa pengantar. Ketiga, konstruksi persatuan Sumatera berada pada perspektif federalis.
Sementara karakter nasionalisme Jawa adalah, pertama, wujud dari kebangkitan budaya Jawa. Kedua, meski menggunakan dwibahasa, yakni Bahasa Jawa dan Bahasa Belanda, dan bukan Bahasa Melayu yang kelak menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia, nasionalisme Jawa menolak budaya Barat dan Islam. Ketiga, konstruksi Jawa-Raya di sini berada dalam perspektif kesatuan. Sementara itu, nasionalisme Islam bangkit dengan keyakinan bahwa Islam adalah landasan bagi nasionalisme dan menjadi lawan terhadap nasionalisme Jawa—yang lebih dahulu menolak Islam—dan budaya Barat. Nasionalisme Islam berpijak atas persamaan nasib di masa kolonial, bukan berdasarkan kejayaan di masa lalu.  
Periode ini jelas menunjukkan adanya kontestasi antarnasionalisme regional (Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemoeda Kaoem Betawi), serta antara nasionalisme sekular dan Islam. Di samping itu, ada semacam pembelahan sosial  di antara kaum nasionalis regional, yakni antara kaum priyayi tua dan baru di Jawa serta antara kaum tua dan muda di Sumatera. Namun demikian semua gerakan nasionalis ini lahir lantaran ketidakpuasan terhadap gerakan terdahulu, misalnya Jong Java dilahirkan oleh priyayi muda yang tidak puas terhadap Boedi Oetomo; Jong Sumatranen Bond tidak suka karakter jawa sentris Jong Java; Jong Bataks tidak menyukai Jong Sumatranen karena didominasi orang-orang Minangkabau; serta Jong Islamieten Bond merupakan pecahan Jong Java yang jawanisme, dan seterusnya.  
Pada tahun 1925, menurut Miert, terutama kaum tua Boedi Oetomo asal Jawa Tengah, memandang kehadiran gagasan bangsa Indonesia yang diinisiasi kaum muda terpelajar sebagai ancaman terhadap keberadaan nasionalisme Jawa.
“Nasionalisme Indonesia” adalah kelanjutan dari “Nasion Hindia” yang beberapa tahun sebelumnya telah mengakibatkan kekacauan besar di kalangan nasionalis Jawa. Semangat kesatuan Indonesia yang didukung oleh “pemuda-pemuda Indonesia” berpendidikan itu dianggap lebih berbahaya lagi oleh tokoh-tokoh penting Boedi Oetomo dari Jawa Tengah. Cita-cita Indonesia bertentangan dengan tuntutan Jawa untuk memegang kedudukan memimpin Hindia. Titik tolak demokratis itu berlawanan dengan tatanan aristokrasi priyayi Jawa. 
Perubahan mendasar berikutnya setelah Tri Koro Dharmo (1915) mengubah bentuk menjadi Jong Java (1918) terlihat dalam Kongres ke-8 Jong Java di Bandung pada 2 Januari 1926. Kongres ini menunjukkan keberhasilan kaum muda dan mereka yang berasal dari “pinggiran” budaya Jawa, sebagaimana diwakili sosok Mohammad Thabrani Soerjowitjitro asal Pamekasan, Madura, anggota Jong Java cabang Surabaya, menempuh Pendidikan OSVIA (Opleidengsholen voor Inlandsche Ambtenaren) di Bandung dan menjadi anggota luar biasa cabang Batavia. Dalam kongres tersebut tercetus tiga hal yang sangat menentukan arah perkembangan gagasan tentang persatuan Indonesia di kemudian hari: Thabrani Soerjowitjitro memrakarsai Kongres Pemuda I 1926; dan pengakuan bahasa Melayu sebagai Bahasa pengantar (lihat Tabel 2.)
Tabel 2. Kongres Pemuda dan Capaiannya
Kongres Pemuda    Waktu dan Tempat    Pemrakarsa    Capaian
I    30 April-2 Mei 1926 di Batavia    Jong Java (1918)    Lahirnya cita-cita Persatuan Indonesia: fusi organisasi dan bahasa Melayu
II    27-28 Oktober 1928 di Batavia    Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (1926)    Lahirnya Sumpah Pemuda
III    Desember 1939 di Yogyakarta    Indonesia Modea (1930)    Mengatasi krisis persatuan dengan bangkitnya organisasi berbasis etnis dan kedaerahan
Sumber: Diolah dari Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930 penerjemah Sudewo Satiman (Jakarta: KITLV, Pustaka Utan Kayu, dan Hasta Mitra, 2003).

Dalam Kongres Pemuda I, gagasan tentang persatuan Indonesia mendapat sambutan luas, bahkan mulai muncul ikhtiar menemukan landasan bersama bagi persatuan. Pertama, persatuan diwujudkan dengan mendirikan Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia) sebagai hasil fusi organisasi-organisasi pemuda. Kedua, menerima bahasa Melayu sebagai Bahasa pengantar. Peristiwa itu sendiri membuat sikap organisasi Jong Java mendua: antara nasionalisme Jawa dan nasionalisme Indonesia; mendukung Indonesia Raya, tetapi tetap terfokus  pada Jawa Raya. Sikap mendua pendukung nasionalisme Jawa ini merupakan refleksi dari introvert, yaitu sikap mental yang lebih pada melihat kembali ke dalam (masa lalu) dirinya. Sementara sikap pendukung nasionalisme Sumatera yang terbuka menyambut nasionalisme Indonesia merupakan cermin karakter extrovert. Mereka cenderung meletakkan nasib pada harapan di masa depan. Gejala historis penting lainnya, tatkala komitmen pemuda Indonesia mencapai klimaksnya pada 28 Oktober 1928, di tengah tumbuh menjamurnya organisasi-organisasi pemuda berdasarkan etnis dan kedaerahan. Puncak dari penegasan dan perwujudan nasionalisme Indonesia, ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamirkan kemerdekaanya 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Mohammad Hatta.
 Nasionalisme Indonesia, sejatinya secara substansi telah dikemukakan Soekarno pada pidato 1 Juni 1945 yang sangat monumental:

“Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk suatu golongan?  Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum bangsawan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan sutu negara “semua untuk semua”…Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.”

Ide dan komitmen kemanusiaan universal hanya bermakna sejauh bisa dibumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas bangsa Indonesia sendiri. Aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai etis Kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat, sebelum menjangkau pergaulan antar bangsa di tingkat global yang jauh. Dalam ungkapan Soekarno, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme”. Dengan demikian, aktualisasi dan kontekstualisasi nilai-nilai etis kesetaraan dan persaudaraan sejati dalam ikatan-ikatan keadaban dalam konteks kebangsaan, bisa menjadi daya rekat dari kebinekaan Indonesia, sebagai tamansari kepelbagaian dunia.
Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam kebinekaan serta kebaruan dalam kelampauan. Atau, dalam pendakuan Clifford Geertz, “Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru.”  Nama Indonesia sebagai “kode kebangsaan” dan proyek “nasionalisme politik” memang baru diperkenalkan pada sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tak terbit dari ruang hampa budaya, melainkan berakar pada tanah air beserta elemen-elemen sosio-kultur yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di bumi Nusantara klasik.
Sebagai proyek “nasionalisme politik”, Mohammad Hatta pernah mengungkapkan, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan  suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”  Akumulasi komitmen, tenaga, dan kemampuan untuk dapat menyatukan keluasan teritorial, kepelbagaian sosio-kultural Indonesia ke dalam kesatuan entitas negara-bangsa (nation state), memang memerlukan kesungguhan yang kuat. Indonesia, yang dikenal dengan julukan negeri “untaian zamrud khatulistiwa” tidak hanya eksotik tapi juga mengikat lebih dari lima ratus suku bangsa dan bahasa daerah, galaksi agama yang aneka dan multicultural yang demikian kental di sepanjang rangkaian tanah air yang membentang dari 6°08’ LU hingga 11°15’ LS, dan dari 94°45’ BT hingga 141°05 BB.
Secara geopolitik, Negara Republik Indonesia seperti pernah diungkapkan Soekarno sebagai “negara lautan” (archipelago) yang ditaburi pulau-pulau atau dalam sebutan umum dikenal sebagai “negara kepulauan”. Sebagai “negara kepulauan” terbesar di dunia, Indonesia memiliki tak kurang dari 17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18.108 pulau)—sekitar 6000 di antaranya berpenduduk (United Nations Environment Program, UNEP, 2003). Lautan, karena itu menjadi dominan. Dari 7,9 juta km2 total luas wilayah Indonesia, 3,2 juta km2 merupakan wilayah laut territorial dan 2,9 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan sisanya  1,8 juta km2 merupakan daratan. Dengan kata lain, luas lautan Indonesia meliputi 2/3 dari total luas wilayah Indonesia. Dengan Panjang pantai 95.180,8 km, sementara Panjang khatulistiwa 40.070 km, maka Panjang garis pantai Indonesia dua kali lipat lebih dari Panjang khatulistiwa. Jika peta Indonesia ditumpangkan pada peta Amerika Serikat dan Eropa, tampak jelas sifat kemaritiman Indonesia. Di atas peta Amerika Serikat,  Indonesia membentang dari Laut Pasifik di barat sampai Laut Antlantik di timur; sementara di atas peta Eropa, Indonesia membentang dari London di barat sampai ke Laut Kaspia di timur. Luas Indonesia dan lautnya kurang lebih sama dengan Amerika Serikat dan lebih luas dari Uni Eropa. Bedanya, Indonesia terdiri atas ribuan pulau di sebuah wilayah laut yang sangat luas, sementara Amerika Serikat adalah sebuah negara daratan dan Eropa terdiri atas benyak negara daratan.
Di samping keluasan teritorialnya, letak strategis Indonesia—di titik persilangan antarbenua dan antarsamudera—membuat kepulauan ini sejak lama menjadi kawasan penyerbukan silang budaya dan peradaban dunia. Itu sebab, tidak mengherankan jika Indonesia menampilkan senyawa arkeologi peradaban yang berlapis: tempat anasir peradaban purba, tua, modern, dan postmodern bisa hadir secara simultan. Sungguh menakjubkan, bagaimana kebinekaan atau kepelbagaian sosial, budaya, etnik, agama, dan territorial ini bisa menyatu ke dalam suatu komunitas politik kebangsaan Indonesia. Di titik inilah, nilai yang terkandung pada sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia kian relevan untuk ditelaah dan diaktualkan dalam formasi kebangsaan kita.
Pentingnya persatuan sebagai landasan berbangsa dan bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu  pada “perangkat keras” seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan territorial, dan inklusivitas warga, tetapi juga memerlukan “perangkat lunak” berupa eksistensi kebudayaan nasional. Bahwa persatuan nasional memerlukan  apa yang disebut Soekarno sebagai “identitas nasional”, “kepribadian nasional”, “berkepribadian dalam kebudayaan”. Atau dalam pendakuan Soepomo, “karena kita menghendaki persatuan, maka kita mengajak lahirnya kebudayaan nasional.”
Hakikat Indonesia adalah suatu cita-cita politik untuk mempersatukan unsur-unsur tradisi,  dan inovasi serta keragaman etnik, agama, budaya, dan kelas sosial ke dalam wadah baru bernama negara-bangsa (nation state) Indonesia. Hasrat persatuan itu memang terdorong secara negatif didorong oleh kehendak menghadapi musuh bersama (penjajah kolonial) dan secara positif, tercipta oleh hasrat untuk mencapai kemerdekaan dan kebahagiaan bersama.
Relevansi dan daya fungsi bangunan sistem nilai Persatuan menjadi efektif, karena itu,  ketika mengatasi dan memelihara kepelbagaian (Bhinneka Tunggal Ika). Persatuan Indonesia menjadi penjaga dan penguat NKRI serta kedaulatan bangsa Indonesia. Nilai Persatuan memiliki energi yang mendorong dan menguatkan falsafah  dan etos budaya gotong royong masyarakat dan bangsa Indonesia. Pesan penegasan Pancasila dari nilai Persatuan Indonesia sebagai ideologis dan dasar ketatanegaraan sesungguhnya berkehendak mengungkapkan dan memastikan bahwa Indonesia tidak mengenal, tidak mengakui, dan tidak menerima konsep dan model lain di luar sistem dan bentuk NKRI. Indonesia hanya mengakui dan memberlakukan bentuk NKRI yang berideologi Pancasila sebagai satu-satunya sistem final yang “menyatukan” seluruh bangsa Indonesia dan bentuk permanen Indonesia Raya. Dengan demikian, apabila ada niat, agenda, dan langkah-langkah aksi dari siapa pun dan dari kelompok mana pun yang memasarkan dan mempropagandakan aspirasi mengenai sistem dan bentuk negara Indonesia selain NKRI, dan aspirasi tersebut dengan sendirinya menolak Pancasila, maka penyimpangan dan penentangan tersebut mesti segera diantisipasi, diatasi, dan dituntaskan. Inilah yang merupakan tantangan kita bersama, yang hadir di tengah dinamika kebangsaan kita menyusul menggeloranya ideologi transnasional dan paham keagamaan tertentu seiring gelombang globalisasi. Hal ini juga dengan sendirinya menjadi tugas, tanggungjawab, dan kewenangan negara dan pemerintah untuk menindak dan menuntaskannya.
Indonesia sungguh-sungguh amat menjunjung tinggi kebebasan dan hak-hak warga sejauh itu diletakkan dalam kerangka persatuan dan penguatan Pancasila. Kebebasan dan hak-hak tersebut dijalankan berdasarkan dan berorientasi untuk menaati Pancasila dan menguatkan sila-sila Pancasila. Kebebasan yang mengancam persatuan dan mengabaikan Pancasila sebagai ideologi “pemersatu” mesti ditolak karena bertentangan dengan tujuan nasional dan cita-cita Kemerdekaan Indonesia. Dengan mempertimbangkan karakter dasar dan kepribadian inti Indonesia sebagai bangsa yang bineka dan pelbagai, maka setiap ide dan tindakan yang menentang kepelbagaian dan kebinekaan mesti dipandang sebagai tindakan menentang eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa.


D.    Kontekstualisasi Nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Pada kursus Pancasila di depan kader-kader Pancasila, 22 Juli 1958 di Istana Negara, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang memesona:

“Bagi kita bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat mempunyai corak nasional, satu  corak kepribadian kita, satu corak yang dus, tidak perlu sama dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis. Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan sebagai sila ke-4 itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian Indonesia sendiri. Tidak perlu “identiek”, artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain.”

Daya tahan Pancasila terhadap perubahan bentuk negara—dari kesatuan, federal, kembali ke kesatuan—oleh sementara peneliti dipandang sungguh mengagumkan. Di mana letak kekuatannya? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah bahwa Pancasila lebih besar dan lebih berarti dari konstitusi; Pancasila lebih besar dari negara kesatuan dan negara federal.
Namun bila ditelusuri lebih mendasar, Pancasila yang terletak dalam Pembukaan UUD 1945, malah disebut menjiwai undang-undang dasar—atau dalam ungkapan lain sebagai jiwa konstitusi, l’spirit de constitution. Pertanyaannya adalah mengapa dengan posisi setinggi itu justru di dalam politik sehari-hari ia tidak “berbunyi”? Seharusnya ia menjadi metode berpikir ideologis dan penuntun bertindak dan berperilaku.
Dalam permenungannya yang berjudul “Demokrasi Kita”, Mohammad Hatta mendaku bahwa demokrasi tidak bisa dilenyapkan dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia:

“Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan. Berlainan daripada beberapa negara lainnya di Asia, demokrasi di sini berurat berakar di dalam pergaulan hidup. Sebab itu ia tidak dapat dilenyapkan untuk selama-lamanya.”

Dalam pengandaian Hatta, setidaknya terdapat tiga sumber  yang menghidupkan cita-cita demokrasi  dalam jantung tradisi bangsa Indonesia, terutama di lingkungan para pemimpin pergerakan. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran  dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya.
Tampaknya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat memang fenomena baru di negeri ini, menyusul formasi negara Republik Indonesia Merdeka. Kerajaan-kerajaan yang tumbuh di Nusantara adalah kerajaan feodal-aristokrasi. Meski pun demikian, nilai-nilai dasar demokrasi, dalam batas tertentu, telah tumbuh berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik terkecil seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, kampong di Makassar, dan seterusnya.
Menurut refleksi Hatta, demokrasi asli Nusantara itu dapat terus bertahan di bawah bayang-bayang feodalisme karena—di  banyak tempat di Nusantara—tanah sebagai faktor produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan raja, melainkan dimiliki “bersama” oleh masyarakat desa. Karena pemilikan Bersama atas tanah desa ini, hasrat tiap-tiap orang untuk memanfaatkan tanah ini harus mendapatkan persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah Bersama yang merembet pada urusan-urusan lainnya, seperti membangun rumah. Adat hidup seperti itu membawa kebiasaan musyawarah menyangkut kepentingan umum, yang diputuskan secara mufakat. Tradisi musyawarah-mufakat ini kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah pimpinan kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut berhak hadir dalam rapat itu.
Kesemuanya ini menjadi bahan pertimbangan tersendiri oleh para pendiri bangsa untuk mencoba merumuskan “konsepsi demokrasi Indonesia yang modern, berdasarkan demokrasi desa yang asli itu”. Lebih jauh Mohammad Hatta menguraikan:

“Kelima anasir demokrasi asli itu: rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama, dan hak menyingkir dari kekuasaan raja, dipuja dalam lingkungan pergerakan nasional sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial yang akan dijadikan sebagai dasar pemerintahan Indonesia merdeka di masa datang. Tidak semua dari yang tampak bagus pada demokrasi desa dapat dipakai pada tingkat yang lebih tinggi dan modern. Tetapi sebagai dasar, ia dipandang terpakai. Betapapun juga orang tidak mau melepaskan cita-cita demokrasi sosial, yang banyak sedikitnya bersendi kepada organisasi sosial di dalam masyarakat asli sendiri.”

Mungkin bisa ditambahkan, bahwa anasir demokrasi desa ini punya jejak kuat secara psikologis di kalangan masyarakat kepulauan di titik persilangan benua dan samudera, yang terbiasa menerima arus masuk aneka budaya tanpa prasangka. Situasi ini menyediakan predisposisi psikologis untuk dapat menerima perbedaan dan penyerbukan silang budaya yang kondusif bagi pengembangan budaya demokrasi di tanah air.
Sementara itu, dalam pengandaian Soekarno, pengaruh Islam di Nusantara membawa transformasi masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis.  Dalam kesempatan yang berbeda Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di jantung para pemimpin pergerakan kebangsaan.
Jika ditelusuri, nilai-nilai demokratis Islam itu bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah doktrin tentang Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhid. Dalam doktrin ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Selain Tuhan, nisbi. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan  hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai penyimpangan terhadap spirit tawhid. Lebih jauh Nurcholish Madjid   menguraikan:

“Pengaturan hidup dengan menciptakan kekuasaan mutlak pada sesama manusia adalah tidak adil dan tidak beradab. Sikap yang pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis. Inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., yang keteladanannya diteruskan kepada para khalifah yang bijaksana sesudahnya.”

Paham selanjutnya dari konsekuensi tawhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak. Antar sesama manusia. Sumber inspirasi yang ketiga—menyusul  anasir demokrasi desa dan Islam—adalah  sosio-demokrasi Barat yang pada urutannya ketiganya  memberikan landasan persatuan dan keragaman: bahwa dengan segala keanekaan ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekular, memiliki “titik temu” dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum menolak individualisme.
Dari kalangan tokoh Islam, idealisasi terhadap gagasan demokrasi-sosialistik diwakili oleh H.O.S Tjokroaminoto. Sementara dari perspektif golongan sekular diwakili oleh pandangan Tan Malaka, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Meski demikian, gagasan demokrasi dengan semangat kekeluargaan (gotong royong) lebih kuat diartikulasikan oleh Soekarno. Penekanannya atas semangat kekeluargaan ini setidaknya tercermin sejak dia menerbitkan tulisan pada 1926 yang berjudul, “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”. Tulisan ini mengidealisasikan pentingnya pertautan di antara tiga kekuatan revolusioner yang disebutnya sebagai “Roh Asia” (Spirit of Asia), yang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia. Ketiga  kekuatan tersebut, dalam pengandaian Soekarno, meski pun maksudnya sama, mempunyai tiga sifat: Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Lebih jauh Soekarno menyatakan:

“Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tidak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa gelombang ini bisa bekerja Bersama-sama menjadi satu gelombang yang mahabesar dan mahakuat, satu ombak taufan  yang tidak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang harus semua kita memikulnya.”

Dalam refleksi yang dibentangkan Soekarno, “kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu, ialah “Kapal Persatuan”. Demi persatuan itu, Soekarno menekankan pentingnya bangsa Indonesia menempuh jalan nasionalisme dan jalan demokrasinya sendiri, yang tidak perlu meniru nasonalisme dan demokrasi yang berkembang di Barat. Hal ini tercermin lewat tulisan-tulisan genial Soekarno seperti, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” , “Sekali Lagi tentang Sosio-Nasionalisme” , dan “Sosio-Demokrasi” (1932b),  dan “Mencapai Indonesia Merdeka” (1933).
Dalam tulisan-tulisan Soekarno mengingatkan bahwa “demokrasi itu pada hakikatnya adalah ‘pemerintahan rakyat’ yang memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah.” Sembari mewanti-wanti tentang kemungkinan demokrasi tanpa demos:
“Ya, mari kita ingat akan pelajaran revolusi Prancis itu. Marilah kita ingat akan bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong rakyat jelata bahkan sebaliknya mengorbankan rakyat jelata, membinasakan rakyat jelata sebagaimana telah terjadi dalam revolusi Prancis itu. Marilah kita awas, jangan sampai rakyat jelata Indonesia tertipu oleh semboyan “demokrasi” sebagai rakyat jelata Prancis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor “demokrasi”—kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan—tetapi sebenarnya hanya mencari kekuasaan sendiri, keuntungan sendiri!”

Dengan kata lain, Soekarno sejatinya ingin menegaskan bahwa demokrasi politik saja tidak cukup. “Bahwa demokrasi-politik sahaja belum cukup menyelamatkan rakyat. Bahkan di negeri-negeri sebagai Inggris, Nederland, Prancis, Amerika dll, di mana ‘demokrasi’ telah dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum Marhaen-nya papa-sengsara! Kaum nasionalis Indonesia tidak boleh mengeramatkan ‘demokrasi’ yang demikian itu.”

Untuk tidak terjebak pada kekeliruan yang sama, Soekarno mengandaikan perlunya bangsa kita memiliki konsepsi nasionalisme dan demokrasinya sendiri yang dinamakan sebagai “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”. Sosio-nasionalisme yang diandaikan adalah spirit kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan keluar, “yang tidak mencari ‘gebyarnya’ atau kilaunya negeri ke luar saja, tetapi ia mesti mencari selamatnya semua manusia:

“Nasionalisme-masyarakat—sosio-nasionalisme, bukanlah nasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”, bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi nasionalisme yang dengan dua-dua kakinya berdiri di dalam masyarakat. Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara… Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. 

Sementara sosio-demokrasi adalah demokrasi yang menjunjung tinggi dan memperjuangkan keadilan sosial, yamg tidak hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak ekonomi. Soekarno lebih jauh menandaskan:

“Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi, adalah timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan msyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi ala rvolusi Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Nederland, ala Jerman, dll,--tetapi dia adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi.”

Di titik ini tampak jelas jika konsep sosio-demokrasi yang diandaikan Soekarno adalah demokrasi yang berpihak kepada rakyat jelata, kaum tertindas dan untuk transformasi sosial yang holistik dan menyeluruh bagi segenap masyarakat, dan bukannya untuk kaum elite dan bangsawan.
Kekuatan potensial dari sistem Kerakyatan mengakar dan mengarah pada penguatan dan pemaknaan sistem kedaulatan rakyat, sosi-demokrasi, permusyawaratan dan perwakilan. Kontekstualisasi Kerakyatan atau sosio-demokrasi harus dijaga dan senantiasa ditingkatkan agar perwujudan dan penjabarannya terus menerus berkembang maju. Dengan demikian bobot Kerakyatan atau sosio-demokrasi selalu senyawa dengan doktrin dan etos “berdaulat di bidang politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian di dalam kebudayaan”. Pembangunan sistem Kerakyatan atau sosio-demokrasi, kedaulatan rakyat, permusyawaratan, dan perwakilan mesti tumbuh dan berkembang berdasarkan dan berorientasi Trisakti. Pergumulan dan tantangan yang dihadapi sistem nilai Kerakyatan atau sosio-demokrasi semakin menantang dan merangsang agar penataan dan penguatan Kerakyatan harus juga semakin diaktualkan dan dibangkitkan dalam kerangka Pancasila. “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” merupakan sistem nilai yang membangun agar kohesivitas antarsila Pancasila menjadi peletak dasar dan penguat sistem dan budaya politik dan budaya demokrasi Indonesia Raya.


E.    Kontekstualisasi Nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Indonesia kini tengah menghadapi “pembelahan” besar perihal ketimpangan sosial (sosial inequality): antara kelompok elite bisnis-politik yang sangat kaya, popular disebut “kaum 1%” dengan mayoritas masyarakat lainnya. Meskipun hidup dalam satu tataran negara-bangsa, tembok besar dan tebal berupa akses kepada kemakmuran dan kekuasaan, telah memisahkan keresahan, aspirasi, dan kepentingan di antara elite minoritas superkaya dan mayoritas masyarakat lainnya. 
Untuk sebuah negera yang menjadikan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat”-nya sebagai dasar negara, realitas sosial saat ini memperlihatkan kesenjangan lebar antara idealitas bernegara dan realitas empirik kehidupan bernegara. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik, tetapi juga emansipasi dan partisipasi dalam bidang ekonomi. Sebagaimana diungkapkan Soekarno pada Pidato 1 Juni 1945, “demokrasi yang kita kejar jangan hanya demokrasi politik saja tetapi kita juga harus mengejar pula demokrasi ekonomi.” 
    Apabila demokrasi politik mensyaratkan kebebasan berpendapat dan berorganisasi yang dilindungi oleh negara dalam sistem hukum, maka demokrasi ekonomi mensyaratkan kesetaraan posisi sosial-ekonomi dari segenap bangsa Indonesia. Sebuah prakondisi bagi terselenggaranya kehidupan politik di dalam negara demokrasi. Dalam perjalanan Republik, cita-cita kemerdekaan politik dan ekonomi, demokrasi dan keadilan sosial seperti dikemukakan di atas tersimpan rapih dalam mentalitas kebangsaan kita, dan muncul ke permukaan dalam titik-titik persimpangan arah perjalanan Republik. Setelah tiga puluh dua tahun Indonesia berada di bawah rezim otoritarian, proses reformasi 1998 menggaungkan kembali cita-cita demokrasi politik dan ekonomi. Oleh kalangan aktivis prodemokrasi, gerakan mahasiswa dan petani, serta tuntutan buruh, keterbukaan politik digemakan seiring tuntutan kuat perwujudan keadilan sosial. Reformasi 1998 merupakan manifestasi dari perjuangan panjang kalangan aktivis dan gerakan sosial dalam menggugat ketidakadilan sosial yang berlangsung pada era Soeharto dengan hegemoni pembangunannya. 
    Setelah tuntutan keadilan sosial terbit dua dekade silam, semangat untuk memperjuangkan keadilan sosial perlahan redup menyusul tampilnya para elite sosial lama yang mengalami proses inkubasi politik pada masa Soeharto kini mampu bertahan, beradaptasi, dan bermetamorfosis  dengan kondisi pelembagaan politik yang baru di era demokrasi. Para oligark dan kemampuan mereka untuk mempertahankan sumberdaya politik dan ekonomi itu menyerap kekuatan sosial reformis yang sebelumnya ikut menumbangkan rezim politik Soeharto. Daya tahan “kekuatan lama” tersebut dikukuhkan oleh bertakhtanya rezim pasar bebas  yang secara perlahan menempatkan pasar bebas, pemangkasan subsidi publik, penguasaan sumberdaya alam dan migas di bawah kendali kekuatan korporasi nasional dan multinasional dengan sayap oligarkinya.
    Di Indonesia, secara diskursif, gugatan terhadap ketidakadilan sosial terus dikumandangkan oleh gerakan sosial dan semakin berkembang. Namun karena relatif lemahnya kekuatan sosial demokratik yang koheren untuk memengaruhi ruang politik formal dan mengubah kebijakan pemerintah, mengakibatkan gugatan ini sangat rentan ditelikung oleh kepentingan kekuatan gurita oligarki, yang basis kekuasaan dan kemampuan mempertahankan sumberdayanya justru menjadi problem mendasar bagi ketimpangan sosial yang telah berlangsung hingga kini. 
    Bila ditelaah lebih jauh—gagasan  para pendiri bangsa—meletakkan  cita-cita  demokrasi Indonesia memadukan emansipasi di bidang politik dan ekonomi. Sila keempat (Kerakyatan) dan sila kelima (Keadilan Sosial) dari Pancasila merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan asli Panitia 9, kedua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawarata-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
    Soekarno mengandaikan keterkaitan kedua sila tersebut sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”—sebuah  istilah yang dipinjamnya dari Fritz Adler—yang  mendefinisikan “sosi-demokrasi” sebagai “politiek ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Dalam sebuah pamflet berjudul “Menuju Indonesia Merdeka”, Mohammad Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong menolong] dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang bayak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan.” Selanjutnya dia menegaskan bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.”
    Senafas dengan itu, Soekarno amat sering mengatakan bahwa:

“Untuk membangun satu Negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka tidak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tidak mungkin kita mendirikan negara, tidak mungkin kita tetap hidup” 

Terkait dengan itu, Latif memandang, para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harus berparas ganda: revolusi politik (nasional) dan revolusi sosial. Revolusi politik (nasional) adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu Negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
    Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan menyintesiskan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi melalui pengembangan secara integratif pranata kebijakan ekonomi dan pranata kebijakan sosial yang berorientasi kerakyatan,  keadilan, dan kesejahteraan. Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang telah tumbuh dan berkobar ratusan tahun lamanya dalam jantung keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagiaan itu terpatri dalam ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat adil dan makmur itu, tak sedikit harga pengorbanan yang telah dicurahkan oleh para pahlawan bangsa. Terkait dengan itu, Soekarno mengungkapkan:

“Masyarakat adil dan makmur, cita-cita asli dan murni dari Rakyat Indonesia yang telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Masyarakat adil dan makmur tujuan terakhir dari revolusi kita. Masyarakat adil dan makmur yang untuk itu, sebagai yang telah saya katakan berulang-ulang, berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita menderita. Berpuluh-puluh ribu pemimpin meringkuk dalam penjara. Berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita meninggalkan kebahagiaan hidupnya. Beratus ribu, mungkin jutaan rakyat kita menderita tak lain tak bukan ialah mengejar cita-cita terselenggaranya satu masyarakat adil dan makmur yang di situ segenap manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengecap kebahagiaan.” 

Selain itu, secara spesifik dalam pledoinya yang berjudul Indonesia Menggugat, Soekarno dengan lantang menyatakan, “Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari corak produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi penyebab nilai lebih tidak jatuh di dalam tangan buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, karena itu pula, menyebabkan akumulasi kapital, sentralisasi kapital, dan industriele Resevearmee.”
Baik pandangan Soekarno maupun Mohammad Hatta menekankan pentingnya mewujudkan ide keadilan sosial sebagai manifestasi cita-cita Proklamasi. Dari pandangan Mohammad Hatta, misalnya ada dua hal yang sejalan dengan diskusi tentang keadilan sosial, yakni “partisipasi yang setara” merupakan kunci dari keadilan sosial dan “konsentrasi kekuasaan oleh segelintir orang” sebagai akar dari problem ketidakadilan sosial. Sementara pandangan Soekarno memperlihatkan bagaimana mekanisme kekuasaan  yang bekerja melalui cara eksploitasi, hierarki, dan eksklusi sosial di dalam masyarakat kapitalisme bekerja hanya untuk melayani kemakmuran segelintir elite dan meninggalkan aspirasi dan kebutuhan mayoritas masyarakat lainnya. Dari kutipan di atas kita dapat mengelaborasi bagaimana peminggiran mayoritas rakyat dalam partisipasi sosial (eksklusi), pengisapan tenaga dari kekuatan masyarakat produktif kelas pekerja (eksploitasi) dan pembentukan hierarki berdasarkan minoritas elite dominan dan mayoritas rakyat marginal (institutionalised hierarchy) dapat bekerja dalam tatanan sosial di masyarakat untuk melanggengkan ketidakadilan sosial.
Dalam perjalanan sejarah, para pendiri Republik tidak hanya menggugat realitas ketidakadilan sosial secara tajam. Mereka juga mampu merumuskan arahan normatif kelembagaan untuk menjaga agar negara yang dibangun tidak dipakai hanya untuk melayani kepentingan segelintir elite bisnis-politik. Pada Rapat Besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar tanggal 13 Juli 1945, Mohammad Hatta memberi masukan untuk menjamin agar negara yang akan dibangun dapat mengawal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang terdiri atas: pertama, orang Indonesia hidup dalam tolong menolong. Kedua, tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat penghidupan yang layak bagi manusia; pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang. Ketiga, perekonomian disusun sebagai usaha bersama menurut dasar kolektif. Keempat, cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pemerintah. Kelima, tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang seorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga. Keenam, harta milik orang seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain. Ketujuh, fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah. Prinsip-prinsip yang dikemukakan Mohammad hatta kemudian menjiwai pasal-pasal dalam UUD 1945, terutama yang terkait dengan persoalan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Titik perjumpaan para pendiri Republik terkait dengan hubngan antar wilayah sosial dan ekonomi seperti tertera di atas memiliki korespondensi kuat dengan tradisi pemikiran progresif dan sosialistik dari para aktivis dan pemuka pemikir modern yang tajam dalam mengkritisi bekerjanya sistem kapitalisme dan implikasinya terhadap problem ketidakadilan sosial. Salah satu hal yang menarik adalah kesesuaian antara konsepsi dan pandangan sosial-ekonomi Mohammad hatta dengan aktivis sosialis-religius dan pemikir garda depan sosial demokrasi era tahun 1940-an, Karl Polanyi asal Wina, Austria—meskipun tak ada data yang menunjukkan bahwa Hatta pernah membaca dan mengutip tulisan-tulisan Karl Polanyi.
Seperti halnya Hatta yang meyakini bahwa aktivitas ekonomi pasar tidak dapat terpisah dan seharusnya tertanam dan diarahkan (bukan mengarahkan) ke ranah sosial dan institusi politik demokratik, Polanyi mengungkapkan bahwa aktivitas ekonomi pasar harus melekat dan tidak terpisah  dengan sistem relasi sosial lainnya yang hadir di masyarakat. Logika pasar tidak dapat bekerja sendirian apabila tidak ingin menghancurkan tatanan sosial manusia, ia harus diletakkan dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial yang dijamin oleh institusi negara demokratik, sehingga manusia bisa tetap mengembangkan potensinya sebagai makhluk sosial melalui praktik partisipasi sosial yang setara dan tereksklusi dalam tarik menarik ketegangan antara ekonomi dan sosial, serta negara dan pasar.
Menurut Karl Polanyi, titik paling fundamental dari bekerjanya pasar bebas yang tidak melekat dalam relasi sosial yang demokratik, berlangsung ketika proses komodifikasi terjadi di berbagai wilayah kehidupan dan terutama terhadap tanah, kerja manusia dan uang. Apabila kita merujuk prinsip-prinsip bernegara yang dikemukakan Mohammad Hatta di atas, maka kita akan menemukan “kesejajaran” di antara mereka. Di dalam prinsip yang melandasi konstitusi UUD 1945, tanah tidak hanya dinilai fungsi privatnya tetapi yang lebih mengedepan adalah fungsi sosial bagi rakyat banyak. Selanjutnya dikemukan bahwa kerja dan pekerjaan bagi warga negara tidak semata-mata mengikuti logika penawaran dan permintaan dalam prinsip pasar swakelola, namun lebih merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Prinsip tentang cabang-cabang produksi vital yang berurusan hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, di dalamnya mengandaikan agar uang tidak tersirkulasi di kalangan minoritas orang-orang kaya dan agar kebutuhan vital warga negara agar juga menjadi tanggung jawab negara yang tidak hanya bekerja melalui logika pasar dan prioritas ekonomi, tetapi mengabdi kepada kebutuhan dan aspirasi dari warga negaranya.
Setelah memahami berbagai dimensi ketidakadilan dan bagaimana mekanisme kekuasaan bekerja dalam melanggengkan “ketimpangan sosial” di sinilah sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kian relevan. Sejak awal proyek keindonesia kita, berusaha untuk menjaga agar penyelenggaraan negara mampu mengawal agar sistem kapitalisme pasar tidak bekerja mendikte, mengeksploitasi, dan mengeksklusi lapisan terbesar masyarakat. Pandangan demikian yang menjiwai dasar-dasar kenegaraan kita sejalan dengan pikiran-pikiran politik dan sosial ekonomi paling progresif di Eropa yang sangat kritis terhadap kecenderungan kapitalisme untuk mengkolonisasi ruang sosial.  Di titik ini, tampak bahwa isi dan arah pengorganisasian sistem nilai keadilan merefleksikan dan memancarkan kemauan kuat bahwa keadilan yang berwatak sosial, universal, dan karena itu tidak parsial ini secara prinsipiil tidak berdiri sendiri.